Rabu, 11 Agustus 2010

Revitalisasi sekolah kejuruan











Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di
Indonesia telah menjadi isu utama tidak hanya dalam dunia pendidikan, tetapi dalam Kehidupan Pemerintahan di Indonesia saat ini. Beberapa indikasi mengenai hal tersebut dapat ditangkap dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh khususnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang memasukkan dalam butir utama Rencana Strategis (Renstra) 2005-2009 salah satunya adalah menambah jumlah dan meningkatkan kualitas SMK di Indonesia.

Sebagai kilas balik pada tahun 2005 posisi SMK masih jauh tertinggal dibandingkan SMA dengan rasio 34:66, kemudian pada tahun 2007 meningkat menjadi 40:60. Melihat kenyataan itu, perlahan tapi pasti SMK semakin diminati karena lebih menjanjikan untuk langsung mencari kerja. Tidak heran jika pemerintah menargetkan tahun 2009 posisi SMK minimal 60:40. Untuk mendukung target itu, Depdiknas tidak tanggung-tanggung dalam mengalokasikan biaya pengembangan SMK. Peningkatan anggaran SMK 2009 dua kali lipat menjadi Rp 3,8 triliun akan difokuskan untuk pengadaan dan pembaruan sejumlah peralatan di SMK

Namun kebijakan pemerintah akan memperbanyak SMK akan sia-sia jika tidak dibarengi kualitas pendidikannya. Pasalnya hingga saat ini pemerintah belum menyediakan fasilitas ataupun sarana dan prasarana yang cukup untuk pendidikan di SMK. Apalagi untuk SMK yang berada di daerah terpencil atau jauh dari akses. Target rasio pun bisa jadi tidak sebanding dengan kesiapan SMK yang masih bergulat mempertahankan keberadaan sekolahnya.

Pemerintah melalui Direktur pembinaan SMK membuka lebar-lebar setiap daerah yang mau membuka SMK Baru. Selain itu diberi kesempatan bagi SMK yang ada untuk menambah siswa-siswanya melalui program Ruang Kelas Baru (RKB), rehabilitasi, dan program-program lainnya. Namun yang menjadi kendala di lapangan diantara ialah SMK masih ketinggalan dalam penerapan atau pelatihan teknologi tepat guna dan sesuai dengan dunia industri atau dunia usaha terus dikembangkan. Masih banyak lulusan SMK yang bingung ketika masuk industri, karena ketika di dunia kerja teknologi sudah banyak berubah.

Selain dukungan dari Depdiknas, maraknya iklan di berbagai media massa mengenai SMK pun turut membantu membuka opini baru bagi masyarakat akan SMK. Yang menjadi tantangan bagi SMK adalah dapatkah lulusan SMK memiliki kualitas yang benar-benar bisa memenuhi harapan masyarakat dan dunia kerja? Ataukah hanya mengejar kuantitas jumlah sekolah tanpa melihat potensi daerah yang pastinya berbeda. Sejatinya jika daerah agraris maka yang lebih dibutuhkan adalah SMK Pertanian, sementara daerah industri jelas yang banyak dicari ialah SMK Teknik Industri. Hal itu perlu dipertimbangkan, mengingat peluang pasar kerja yang makin terbatas.

Jelas SMK harus kerja keras untuk melakukan revitalisasi. Hal ini penting mengingat persepsi sebagian besar masyarakat, khususnya orangtua yang hendak menyekolahkan anaknya di SMK cenderung masih apatis. Di samping itu juga mengkonsep kurikulum praktik yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja dan tentu saja mengembangkan kewirausahaan agar lulusan SMK tak bergantung menjadi tenaga kerja, tetapi juga mampu membuka peluang kerja.

Salah satu cara yang dikembangkan oleh Direktorat Pembinaan SMK ialah memperpanjang masa studi menjadi 4 tahun
Alasannya, tiga tahun belajar di sekolah, ditambah setahun magang di industri atau program 3+1. Hal itu dilakukan untuk melatih lulusan SMK bisa langsung diterima di bursa tenaga kerja di bidang industri dan memperluas pasar kerja.

Semoga dengan adanya program pengembangan tersebut, SMK semakin banyak diminati oleh masyarakat.

gambar diunduh dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar