Akhirnya tulisan ini sengaja saya telatkan, tidak pas dengan momen tanggalnya. Pun saat hari H saya masih bingung sambil memegang keypad handphone, memikirkan formulasi kata apa yang tepat untuk mengungkapkan perasaan agar tidak terbaca sebagai seremonial.
Di siang hari akhirnya saya menemukan, ya meski saya akui terbaca aneh karena menurut saya sama sekali tak menyentuh hatinya. Bayangkan saja jika isinya terkesan seperti bercanda dan jauh dari nuansa hari ibu.
Terlepas dari itu, saya hanya tak ingin terjebak pada tanggal dan waktu sekadar untuk merefleksikan hari Ibu. Bukankah awalnya hari ibu tiba-tiba ada diawali oleh keberanian gagasan para perempuan di masa itu untuk mengungkapkan pendapatnya, bahwa sudah saatnya perempuan juga terlibat di urusan politik-publik, tidak melulu ranah domestik. Keberhasilan mereka-lah yang membidani lahirnya kongres perempuan pertama 22 Desember 1928 dan Gedung Wanitatama Yogyakarta menjadi saksi.
Kini, aras perjuangan itu telah bergeser sepertinya. Spirit dan perjuangan yang dulu amatlah susah sekarang hanya berlalu dengan seremonial biasa, tanpa makna. Kalau begitu kenapa harus 'dirayakan' setiap tahun?
Sadarkah jika ada hari ibu justru mengetuk hati kita bahwa sejatinya masih banyak permasalahan perempuan yang belum tuntas, dan tak akan tuntas jika hanya menjadikan tanggal 22 desember sebagai hari ibu. Sadarkah jika itu 'pukulan' buat kita bahwa cita-cita mereka para perempuan yang berjuang itu belum bisa kita teruskan. Bahkan terkadang untuk dipraktikkan pada diri kita sendiri.
Masih berapa banyak dari kita yang salah kaprah tentang determinasi antara publik dan domestik, belum lagi soal penyebutan atau pelabelan istilah Ibu Rumah Tangga yang banyak diartikan seorang perempuan yang 'ngendon' dan kerja domestik di rumah. Helooo....hari gini bukankah laki-laki juga bisa mengerjakan pekerjaan domestik.
Contoh di atas masih sebatas tataran verbal. belum lagi jika kita bicara mengenai non-verbal, bahwa masih banyak perempuan dan ibu yang belum merdeka meski sudah di rumahnya sendiri....terpaksa menjadi TKI, mendapat kekerasan dari keluarga, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, tidak bisa melanjutkan cita-cita dan ambisinya. Katanya hari ibu diejawantahkan untuk mengungkapkan rasa sayang, kenapa hal di atas masih terjadi?
Jadi masih bisakah kalau tanggal 22 desember disebut hari ibu.....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar