stay at home woman

Sudah hampir 2 bulan saya melepas untuk sementara embel-embel perempuan berkarir di luar rumah, sudah selama itu pula saya mengisi waktu setiap harinya dengan hal-hal yang baru.Jujur,pada awalnya saya sempat merasakan "syndrom work", biasanya kan setiap pagi selalu 'heboh' persiapan mau kerja, mulai dari nyiapin tetek bengek dan sarapan. Lantas, mulai jam 7 sampai jam 5 saya berada di kantor, sampai rumah sudah capek dan tinggal leyeh2 sambil makan malam, berputar terus setiap senin hingga jum'at, begitu juga dengan suami.

Biasanya wektu seharian terasa cepat karena banyak aktivitas yang mneyita di tempat kerja, apalagi pekerjaan saya juga menuntut performa yang tinggi. Hmm jadi wajar kan pascaresign seperti ada yang hilang, dunia dan hari-harinya berjalan lambat, detik ke detik, menit ke menit. Tapi saya tidak menyesal dengan keputusan itu, karena ini adalah sebuah tantangan baru yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya coba mengubah paradigma bahwa bekerja tidak melulu di ruangan ber-ac yang lengkap dengan segala fasilitasnya.

Sebagai seorang individu yang berjenis kelamin perempuan saya perlu melakukan sesuatu agar kebutuhan manusia paling tinggi versi Maslow, yaitu aktualisasi diri bisa tercapai. Akhirnya saya memutuskan untuk kerja-kerja freelance dan mengasah kembali kebiasaan menulis yang sempat terpending karena padatnya waktu kerja.

Banyak orang beranggapan bahwa perempuan yang tidak bekerja -di luar rumah- termasuk tipikal ibu rumah tangga dan melulu melakukan kerja-kerja domestik. Hey, siapa bilang, itu mah pandangan jaman jebot, nyatanya banyak sekali perempuan yang sukses hanya dengan bermodalkan PC/laptop lengkap dengan fasilitas internet di rumah. Mereka tetap bisa eksis berkarya, mulai dari menulis sampai bisnis online.

Berarti tinggal kembali ke pilihannya saja, guys, lebih nyaman mau pilih yang mana? Di mana pun perempuan memilih aktivitasnya, dia harus tetap berpikir atas keinginannya sendiri tanpa campur tanga pihak lain dan sadar pada pilihannya tersebut.