Senin, 13 Februari 2012

ketika anak tak punya lingkungan bermain


Banyak sekali masalah-masalah tentang ruang bermain anak di perumahan-perumahan Jakarta yang belum bisa ditangani satu persatu. Para pengembang lebih menekankan nilai ekonominya. Tanah kosong yang biasa dijadikan tempat bermain telah berubah menjadi bangunan kantor, pertokoan atau perumahan baru. Pekarangan yang tadinya luas, sekarang telah terpenggal akibat pelebaran jalan.

Jika ada lahan tersisa, pasti digunakan untuk perumahan atau perkantoran atau yang bisa menghasilkan keuntungan ketimbang hanya dijadikan ruang terbuka hijau untuk tempat bermain anak. Akibatnya, anak-anak kehilangan tempat bermainnya dan cenderung lebih bermain di dalam rumah atau sekolahnya saja ke arah permainan yang bersifat teknologi.

Padahal bermain di dalam ruangan maupun di luar ruangan harus tetap dijaga keseimbangannya. Rata-rata, anak Indonesia bermain selama 2 jam perhari, hampir sama halnya dengan kebanyakan anak dari negara-negara di Asia lainnya, 1 jam lebih singkat dari kebanyakan anak-anak dari negara Amerika dan Eropa Barat. Anak-anak yang tinggal di perumahan, pada umumnya, cenderung bemain dengan teman seusia dalam kelompok kecil (kebanyakan teman sekolah). Mereka cenderung bemain video/komputer game, atau menonton TV di dalam rumah. Padahal di negara lain anak-anak pada umumnya menggemari permainan yang sifatnya olahraga, televisi dan game secara berimbang.

Peraturan pemerintah atas ruang terbuka hijau kota belum terlaksana sebagaimana mestinya karena belum adanya petunjuk pelaksanaan yang tegas. Akibatnya perhatian terhadap pentingnya pengadaan ruang rekreasi dan bermain untuk anak dan keluarga terutama di lingkungan perumahan menjadi kurang.

Rata-rata ruang bermain anak Indonesia adalah 2.000m2/anak, hampir menyamai anak-anak di Tokyo, lebih rendah dari kebanyakan anak-anak di negara-negara berkembang di asia lainnya, dan sangat kecil jika dibandingkan dengan anak-anak dari negara barat (sekitar 10.000 m2/anak).

Anak-anak yang tinggal di perumahan, kalau tidak bermain di halaman sekolah dan pekarangan rumah yang relatif sempit, mereka cenderung bermain di dalam rumah. TV, video dan komputer game telah menggantikan permainan kasti, 'gobak sodor' atau jenis permainan berkelompok lainnya, yang telah mengucilkan anak dari proses pengenalan dalam bersosialisasi dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan anak cenderung menjadi lebih egois dan individualis.

Hak-hak anak atas ruang bermain itu semakin hari semakin sempit, bukan saja oleh kaki lima atau pembangunan yang tidak berorientasi kepada masa depan anak-anak, melainkan juga pemerintah sama sekali tidak memiliki kebijakan tentang ruang tersebut. Sekolah-sekolah berdiri tanpa halaman, gelanggang remaja dan arena bermain dibuat sangat sedikit, juga tempat rekreasi yang menyediakan ruang bermain bagi anak-anak, orang harus membayar tiket yang relatif mahal. Dari sini kita melihat, pemerintah hanya menginginkan sisi komersial dari setiap pembangunan ruang bermain itu. Bukan semata-mata memberikan hak yang sepatutnya diterima masyarakat, khususnya bagi anak-anak.

Tidak heran jika ruang ekspresi itu menjadi salah sasaran, seperti bermain di atap kereta, tawuran antar sekolah, nongkrong di mal, juga kebut-kebutan di jalan.
Sebenarnya bagi anak-anak sendiri, ada atau tidak adanya ruang bermain itu, tidaklah begitu menjadi masalah. Sebab secara alami, mereka telah memiliki kemampuan menemukan ruang bermainnya sendiri. Tetapi masalahnya, ruang bermain tersebut kondusif atau tidak adalah tanggung jawab orang dewasa.

Rendahnya kualitas dan kuantitas lingkungan bermain anak, yang mana dalam jangka panjang dapat memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan anak. Oleh sebab itu aspek-aspek sosial dan fisik pertumbuhan kota adalah penting untuk diperhatikan dalam perkembangan dan pembangunan kota, agar upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan bermain anak dapat dicapai.

Semua anak-anak di mana pun di seluruh penjuru dunia pasti mencita-citakan tempat bermain yang layak. Seperti dalam suatu penelitian di sekolah dasar di Berkeley, Amerika Serikat. Seorang putri berusia delapan tahun, mengisi kuesioner mengenai rencana pembangunan halaman sekolahnya. Bunyinya: "Saya sangat membenci halaman sekolah yang penuh dengan garis, lantainya kasar dan bisa melukai, juga yang terbuat dari aspal. Dan halaman sekolah yang saya inginkan harus ada tangga berjajar, pohon-pohon, rumput, burung, kolam ikan dan taman bunga."

Nah, bagaimana dengan anak-anak di kota-kota besar? Dapatkah mereka diberi kesempatan untuk "urun rembuk", dalam hal membangun ruang bermain yang mereka inginkan walaupun sebatas halaman sekolah? Tentunya dalam hal ini, utamanya sebagai orangtua dan pendidik tidak dapat diam saja. Sudah seharusnya ada orang yang menuntut pemerintah untuk memenuhi kewajibannya menyediakan lebih banyak ruang bermain, tempat rekreasi yang murah dan membebaskan ruang yang ada dari pengguna yang tidak berhak.

Pentingnya ruang bermain bagi anak-anak di kota, lebih-lebih dari kebutuhan sekunder. Ruang bermain merupakan tempat di mana anak-anak tumbuh dan mengembangkan intelegensinya. Tempat di mana mereka membuat kontak dan proses dengan lingkungan, serta yang tak kalah penting adalah membantu sistem sensor dan proses otak secara keseluruhan. Dari tempat bermain itu pula, anak dapat belajar sportivitas, disiplin dan mengembangkan kepribadiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar