Setiap dia yang pergi, selalu meninggalkan kesan, dan hanya kesan baiklah yang selalu bisa kita kenang. Pertemuan di kediamannya yang asri dan hijau pada medio 2008, di sebuah sudut sofa berdinding kaca menjadi saksi obrolan kami yang singkat namun hangat. Ada kalimat yang membuat saya teringat sampai saat ini, bahwa yang penting bukanlah kamu kerja apa, tapi kamu bisa apa. Kata-kata itulah yang menjadi salah satu mention untuk terus berjalan. Ditemani teh panas dan kue
cookies di rumahnya yang asri di kawasan Lebak Bulus, Bob Sadino dengan
antusias menceritakan perjalanan hidupnya. Semoga bisa menginspirasi :)
Bertemu dengan pria
yang gandrung berpakaian ''dinas'' celana pendek jins dan kemeja lengan pendek
yang ujung lengannya tidak dijahit, ini adalah kesempatan yang tidak biasa.
Apalagi Bob Sadino adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai
usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha.
Siapa sangka jika pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks (supermarket), ini
sebelumnya mantan sopir taksi dan karyawan Unilever.
Terpisahnya bidang pendidikan dan
kebudayaan pasca orde baru ternyata mengguratkan kegelisahan di benak pria
kelahiran Lampung 19 maret 1933 ini. Menurutnya kenapa pendidikan dan
kebudayaan mesti dipisahkan. “Padahal fungsi budaya erat sekali dengan capaian
yang dihasilkan oleh manusia,” ungkapnya.
Hal itu lanjut Bob bisa diamati mulai dari hal
sederhana, misalnya materi yang ada di buku pelajaran.
Bob menilai isi dari buku pelajaran di sekolah
dasar masih terdapat materi Ibu ke pasar membeli sayuran, bukannya menjual
sayuran. “
Ibu membeli sayur di pasar lebih bersifat
konsumtif. Kalau sejak kecil sudah didoktrin membeli, maka wajar bila gaya hidup masyarakat Indonesia jadi konsumtif,”
lanjutnya.
Itu mengapa sebabnya kebudayaan sangat
berpengaruh bagi proses pendidikan. Sebab menurut pria yang punya hobi
menikmati musik jazz ini tradisi budaya punya pengaruh besar pada perubahan
karakter masyarakat, dari yang tadinya hanya membeli lantas beralih menjadi
pengusaha atau berdagang.
Tindakan: Kunci yang Penting
Di
saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu
baku dan kaku,
yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia
lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana
sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata suami
dari Soelami Soelami Soejoed. Hal itu dapat dibuktikan ketika Bob mengisi acara
seminar kewirausahaan di kampus-kampus se-Indonesia. ’’Masih banyak yang hanya
senyum-senyum waktu saya katakan apakah anda mau berhenti kuliah lantas usaha
apa saja,” ungkap anak bungsi dari lima
bersaudara ini.
Keberhasilan
Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke
lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob terampil dan menguasai bidangnya. Proses
keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian
praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.Menurut Bob, banyak orang yang
memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa
memiliki ilmu yang melebihi orang lain.
Kuncinya
adalah melepaskan belenggu jalan pikiran Anda sendiri. Bahwa Anda tidak boleh
gagal, tidak bisa sukses, takut melakukan sesuatu. Itu semua harus dibuang.
Orang yang berhasil adalah yang bangkit setelah mengalami kegagalan. Karena
itu, Anda harus memiliki kemauan untuk mengubah posisi Anda, keberanian untuk
mengambil peluang, tahan banting dan tidak cengeng serta yang paling utama
adalah bersyukur pada Sang Pencipta,” urai Bob. Ia mengaku tak tahu ilmu
manajemen karena hanya bersekolah sampai menengah atas. “Saya tidak tahu itu
ilmu manajemen,” selorohnya tertawa.
Titik Balik Kehidupan Bob Sadino
Pengalaman yang tidak memberikan
kebebasan bagi Bob Sadino membawa kerinduan untuk pulang kampung setelah
merantau sembilan tahun di Amsterdam, Belanda
dan Hamburg,
Jerman, sejak tahun 1958. Ia membawa pulang istrinya, mengajaknya hidup serba
kekurangan. Padahal mereka tadinya hidup mapan dengan gaji yang cukup besar. Sekembalinya
di tanah air, Bob bertekad tidak ingin lagi jadi karyawan yang diperintah
atasan. Karena itu ia harus kerja apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan
istrinya. Ia pernah jadi sopir taksi. Mobilnya tabrakan dan hancur. Lantas
beralih jadi kuli bangunan dengan upah harian Rp 100.
Bob
mengaku dirinya bukan orang akademis hanya lulusan sekolah menengah atas, tidak
punya latar belakang wirausaha dan tidak pernah mimpi mendapatkan uang. “Apa
yang saya lakukan mengalir saja melalui pancaindra, saya tidak berangkat dari
mimpi seperti yang dimiliki banyak orang,” tegasnya.
Tetapi
saya punya pengalaman pernah kerja pada salah satu perusahaan di Eropa. Memang
kalau dilihat dari segi fasilitas yang ditawarkan relatif besar dan cukup untuk
memenuhi kebutuhan, tetapi dari semua itu sebenarnya ada yang saya tidak punya
yaitu kebebasan. Intinya adalah kebebasan Karena saya diatur oleh system.
Lantas saya lepaskan semua fasilitas yang saya punya, dan hidup bermiskin ria
dari nol. “Perubahan besar pada diri saya yaitu kebebasan yang merupakan
dorongan dahsyat dalam mempengaruhi hidup saya,” ungkapnya.
Bob hanya
mengandalkan pancaindera ketika sempat tinggal di Eropa dan membandingkan bahwa
telur di Eropa lebih besar daripada di Indonesia. Bob pun langsung
tergerak untuk memperkenalkan telur dan ayam pada bangsa ini seperti yang ada
di gerai-gerai makanan cepat saji. “Saya tidak pernah punya tujuan dan rencana,
itulah sebabnya aset yang saya punya adalah akibat dari pekerjaan yang saya
ciptakan sendiri dan tentunya saya senangi,” tambahnya.
Alasannya
pada saat itu (1970) di Indonesia
hanya berkembang ternak ayam kampung yang menghasilkan telur hanya beberapa
puluh per tahun, padahal kalau ternak ayam petelur mampu menghasilkan telur
sampai 300 butir bahkan bisa lebih per tahun. Dagingnya pun berbeda dengan ayam
kampong sebab ayam pedaging lebih empuk dan
daging yang dihasilkan pun lebih banyak.
Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya,
setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun,
ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka
fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat
banyak menetap orang asing. Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan,.
Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan
drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah
itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super
market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan balutan kemeja
lengan pendek dan celana pendek.
Bisnis pasar swalayan Bob
berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola
kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga
menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah. Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi
kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira.
#cka
Dimuat di Majalah Jogja Education Edisi 4 2008
memang banyak pelajaran yang bisa kita petik dari sosok ini. RIP, Pak ...
BalasHapus