Selasa, 20 Januari 2015

Ketika Semua Tak Harus Dimulai dari Ilmu (In Memoriam Bob Sadino)


Setiap dia yang pergi, selalu meninggalkan kesan, dan hanya kesan baiklah yang selalu bisa kita kenang. Pertemuan di kediamannya yang asri dan hijau pada medio 2008, di sebuah sudut sofa berdinding kaca menjadi saksi obrolan kami yang singkat namun hangat. Ada kalimat yang membuat saya teringat sampai saat ini, bahwa yang penting bukanlah kamu kerja apa, tapi kamu bisa apa. Kata-kata itulah yang menjadi salah satu mention untuk terus berjalan. Ditemani teh panas dan kue cookies di rumahnya yang asri di kawasan Lebak Bulus, Bob Sadino dengan antusias menceritakan perjalanan hidupnya. Semoga bisa menginspirasi :)

Bertemu dengan pria yang gandrung berpakaian ''dinas'' celana pendek jins dan kemeja lengan pendek yang ujung lengannya tidak dijahit, ini adalah kesempatan yang tidak biasa. Apalagi Bob Sadino adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Siapa sangka jika pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks (supermarket), ini sebelumnya mantan sopir taksi dan karyawan Unilever.

Terpisahnya bidang pendidikan dan kebudayaan pasca orde baru ternyata mengguratkan kegelisahan di benak pria kelahiran Lampung 19 maret 1933 ini. Menurutnya kenapa pendidikan dan kebudayaan mesti dipisahkan. “Padahal fungsi budaya erat sekali dengan capaian yang dihasilkan oleh manusia,” ungkapnya.  Hal itu lanjut Bob bisa diamati mulai dari hal sederhana, misalnya materi yang ada di buku pelajaran.

Bob menilai isi dari buku pelajaran di sekolah dasar masih terdapat materi Ibu ke pasar membeli sayuran, bukannya menjual sayuran. “Ibu membeli sayur di pasar lebih bersifat konsumtif. Kalau sejak kecil sudah didoktrin membeli, maka wajar bila gaya hidup masyarakat Indonesia jadi konsumtif,” lanjutnya.

Itu mengapa sebabnya kebudayaan sangat berpengaruh bagi proses pendidikan. Sebab menurut pria yang punya hobi menikmati musik jazz ini tradisi budaya punya pengaruh besar pada perubahan karakter masyarakat, dari yang tadinya hanya membeli lantas beralih menjadi pengusaha atau berdagang.

Tindakan: Kunci yang Penting

Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata suami dari Soelami Soelami Soejoed. Hal itu dapat dibuktikan ketika Bob mengisi acara seminar kewirausahaan di kampus-kampus se-Indonesia. ’’Masih banyak yang hanya senyum-senyum waktu saya katakan apakah anda mau berhenti kuliah lantas usaha apa saja,” ungkap anak bungsi dari lima bersaudara ini. 

Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob terampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.

Kuncinya adalah melepaskan belenggu jalan pikiran Anda sendiri. Bahwa Anda tidak boleh gagal, tidak bisa sukses, takut melakukan sesuatu. Itu semua harus dibuang. Orang yang berhasil adalah yang bangkit setelah mengalami kegagalan. Karena itu, Anda harus memiliki kemauan untuk mengubah posisi Anda, keberanian untuk mengambil peluang, tahan banting dan tidak cengeng serta yang paling utama adalah bersyukur pada Sang Pencipta,” urai Bob. Ia mengaku tak tahu ilmu manajemen karena hanya bersekolah sampai menengah atas. “Saya tidak tahu itu ilmu manajemen,” selorohnya tertawa.

Titik Balik Kehidupan Bob Sadino
Pengalaman yang tidak memberikan kebebasan bagi Bob Sadino membawa kerinduan untuk pulang kampung setelah merantau sembilan tahun di Amsterdam, Belanda dan Hamburg, Jerman, sejak tahun 1958. Ia membawa pulang istrinya, mengajaknya hidup serba kekurangan. Padahal mereka tadinya hidup mapan dengan gaji yang cukup besar. Sekembalinya di tanah air, Bob bertekad tidak ingin lagi jadi karyawan yang diperintah atasan. Karena itu ia harus kerja apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan istrinya. Ia pernah jadi sopir taksi. Mobilnya tabrakan dan hancur. Lantas beralih jadi kuli bangunan dengan upah harian Rp 100.

Bob mengaku dirinya bukan orang akademis hanya lulusan sekolah menengah atas, tidak punya latar belakang wirausaha dan tidak pernah mimpi mendapatkan uang. “Apa yang saya lakukan mengalir saja melalui pancaindra, saya tidak berangkat dari mimpi seperti yang dimiliki banyak orang,” tegasnya.  

Tetapi saya punya pengalaman pernah kerja pada salah satu perusahaan di Eropa. Memang kalau dilihat dari segi fasilitas yang ditawarkan relatif besar dan cukup untuk memenuhi kebutuhan, tetapi dari semua itu sebenarnya ada yang saya tidak punya yaitu kebebasan. Intinya adalah kebebasan Karena saya diatur oleh system. Lantas saya lepaskan semua fasilitas yang saya punya, dan hidup bermiskin ria dari nol. “Perubahan besar pada diri saya yaitu kebebasan yang merupakan dorongan dahsyat dalam mempengaruhi hidup saya,” ungkapnya. 

Bob hanya mengandalkan pancaindera ketika sempat tinggal di Eropa dan membandingkan bahwa telur di Eropa lebih besar daripada di Indonesia. Bob pun langsung tergerak untuk memperkenalkan telur dan ayam pada bangsa ini seperti yang ada di gerai-gerai makanan cepat saji. “Saya tidak pernah punya tujuan dan rencana, itulah sebabnya aset yang saya punya adalah akibat dari pekerjaan yang saya ciptakan sendiri dan tentunya saya senangi,” tambahnya. 

Alasannya pada saat itu (1970) di Indonesia hanya berkembang ternak ayam kampung yang menghasilkan telur hanya beberapa puluh per tahun, padahal kalau ternak ayam petelur mampu menghasilkan telur sampai 300 butir bahkan bisa lebih per tahun. Dagingnya pun berbeda dengan ayam kampong sebab ayam pedaging lebih empuk dan  daging yang dihasilkan pun lebih banyak. 

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing. Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan,. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan balutan kemeja lengan pendek dan celana pendek.

Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah. Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. #cka

Dimuat di Majalah Jogja Education Edisi 4 2008

1 komentar:

  1. memang banyak pelajaran yang bisa kita petik dari sosok ini. RIP, Pak ...

    BalasHapus