Persiapan Pisowanan Agung ke dua sudah nampak. Di Alun-Alun Utara telah disiapkan panggung besar menghadap ke utara yang nantinya akan dijadikan podium Sri Sultan dalam Pisowanan Agung. Sementara itu di beberapa ruas jalan juga sudah nampak poster yang berisi dukungan Sri Sultan sebagai capres 2009. Seperti nampak di perempatan kantor pos besar dan alun-alun utara terpampang spanduk yang bertuliskan "Sultan For Indonesia”.
Agenda besar yang tengah dinantikan oleh rakyat akhirnya akan digelar juga hari ini 28 Oktober 2008 bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Ya, ritual sakral Pisowanan Agung pun digelar kedua kalinya di alun-alun utara. Agenda tersebut rencananya akan mulai dilaksanakan pukul 13.30 WIB yang dibuka dengan acara kesenian Angguk, Reog, Barongsai, Hadrah dan Jathilan. Acara akan ditutup pada pukul 17.15 pidato Sri Sultan
Menurut informasi yang dilansir dari Okezone.com, Sultan mengatakan telah menyiapkan jawaban apakah akan maju sebagai capres ataukah tidak. Namun demikian ia baru akan memberikan jawaban mengenai hari ini. Menurut Sri Sultan ia telah merenung dan berkontemplasi diri sebelum besok akan memberikan pernyataan kepada masyarakat Yogyakarta.
Ternyata persoalan tak selesai sampai di situ sebab agenda Pisowanan Agung telah bergeser dari awal membahas keistimewaan DIY menjadi deklarasi pencalonan Sri Sultan. Pisowanan agung merupakan tradisi baru dalam konteks hubungan kawula-gusti di DIY. Tradisi ini diperkenalkan pertama kali pada 1998 ketika Sultan mengambil keputusan untuk mendukung gerakan reformasi.
Pisowanan agung yang pernah digelar di Pagelaran Keraton Yogyakarta, 18 April lalu, menjadi catatan sejarah yang sangat penting. Pertemuan tersebut tidak hanya menjadi arena crafting atau curah gagasan tentang nasib keistimewaan DI Yogyakarta pasca-2008, tetapi juga menjadi momentum Sultan Hamengku Buwono X untuk menyampaikan sebuah pesan mistis-adiduniawi kepada warga tentang kosmologi kekuasaan Jawa yang tengah mengalami tuntutan "refleksi diri", menjaga keharmonisannya dengan Tuhan dan alam semesta.
Keinginan refleksi diri dan konsistensi menjaga kosmologi kekuasaan Jawa tampak sangat kuat dari pernyataan Sultan: "Setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual, saya menyatakan tidak bersedia lagi menjabat sebagai gubernur." Laku spiritual merupakan salah satu kata kunci dalam kosmologi kekuasaan tradisional Jawa. Tetapi, sayangnya bahwa 40.000-an warga DIY yang mengikuti pisowanan agung kurang menangkap pesan mistis yang terkandung dalam pernyataan Sultan tersebut.
Dalam tradisi Yogyakarta, kekuasaan bersumber dari alam adiduniawi, bersifat sakral dan hanya dimiliki orang-orang tertentu yang mempunyai hubungan dengan kosmos. Raja dalam pandangan tradisi Yogyakarta merupakan medium penghubung mikrokosmos manusia dengan makrokosmos Tuhan, alam semesta.
Kritik mendasar terhadap pisowanan agung adalah kelemahannya dalam menangkap keinginan Sultan untuk kembali ke lingkaran keraton, sebagai simbol pusaran pertemuan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Sultan, seperti tampak dalam berbagai pernyataannya, ingin memperkuat kembali legitimasi kekuasaan raja Jawa dengan memperkokoh hubungan antara dunia materi (res extensa) dan dunia batin atau roh (res cogitans).
Memang, sebagai simbol integritas moral dan kekuasaan, seorang raja jelas boleh berpolitik dan memberikan statemen politik. Tetapi yang harus diperhatikan di sini adalah kedudukan seorang raja yang menjadi simbol integritas moral dan kekuasaan. Seorang raja yang akan memberikan statemen politik selalu diperhitungkan secara matang.
Dalam tradisi raja-raja Jawa, untuk merumuskan suatu kebijakan atau statemen politik, laku spiritual menjadi pilihan wajib. Sebelum memberikan statemen politik, seorang raja menjalani laku spiritual yang akan memperkuat legitimasi politiknya. Sebab, seorang raja pantang menjilat ludahnya sendiri. Tetapi, dalam konteks statemen politik Sultan baru-baru ini, seakan-akan falsafah Jawa sudah tidak berlaku lagi.
Sabda Pandita Ratu merupakan filosofi kepemimpinan ala Jawa yang menjelaskan bahwa kedudukan seorang raja merepresentasikan pucuk pimpinan kekuasaan (politik) dan agama (moral). Dalam catatan sejarah raja-raja Mataram, belum ada sebuah pernyataan raja yang ditarik kembali hanya karena alasan politik. Tentu saja statemen Sultan HB X baru-baru ini dianggap telah mengorbankan kredibilitas sekaligus kharisma seorang raja Mataram, pucuk pimpinan kekuasaan (politik) dan agama (moral).
Agenda besar yang tengah dinantikan oleh rakyat akhirnya akan digelar juga hari ini 28 Oktober 2008 bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Ya, ritual sakral Pisowanan Agung pun digelar kedua kalinya di alun-alun utara. Agenda tersebut rencananya akan mulai dilaksanakan pukul 13.30 WIB yang dibuka dengan acara kesenian Angguk, Reog, Barongsai, Hadrah dan Jathilan. Acara akan ditutup pada pukul 17.15 pidato Sri Sultan
Menurut informasi yang dilansir dari Okezone.com, Sultan mengatakan telah menyiapkan jawaban apakah akan maju sebagai capres ataukah tidak. Namun demikian ia baru akan memberikan jawaban mengenai hari ini. Menurut Sri Sultan ia telah merenung dan berkontemplasi diri sebelum besok akan memberikan pernyataan kepada masyarakat Yogyakarta.
Ternyata persoalan tak selesai sampai di situ sebab agenda Pisowanan Agung telah bergeser dari awal membahas keistimewaan DIY menjadi deklarasi pencalonan Sri Sultan. Pisowanan agung merupakan tradisi baru dalam konteks hubungan kawula-gusti di DIY. Tradisi ini diperkenalkan pertama kali pada 1998 ketika Sultan mengambil keputusan untuk mendukung gerakan reformasi.
Pisowanan agung yang pernah digelar di Pagelaran Keraton Yogyakarta, 18 April lalu, menjadi catatan sejarah yang sangat penting. Pertemuan tersebut tidak hanya menjadi arena crafting atau curah gagasan tentang nasib keistimewaan DI Yogyakarta pasca-2008, tetapi juga menjadi momentum Sultan Hamengku Buwono X untuk menyampaikan sebuah pesan mistis-adiduniawi kepada warga tentang kosmologi kekuasaan Jawa yang tengah mengalami tuntutan "refleksi diri", menjaga keharmonisannya dengan Tuhan dan alam semesta.
Keinginan refleksi diri dan konsistensi menjaga kosmologi kekuasaan Jawa tampak sangat kuat dari pernyataan Sultan: "Setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual, saya menyatakan tidak bersedia lagi menjabat sebagai gubernur." Laku spiritual merupakan salah satu kata kunci dalam kosmologi kekuasaan tradisional Jawa. Tetapi, sayangnya bahwa 40.000-an warga DIY yang mengikuti pisowanan agung kurang menangkap pesan mistis yang terkandung dalam pernyataan Sultan tersebut.
Dalam tradisi Yogyakarta, kekuasaan bersumber dari alam adiduniawi, bersifat sakral dan hanya dimiliki orang-orang tertentu yang mempunyai hubungan dengan kosmos. Raja dalam pandangan tradisi Yogyakarta merupakan medium penghubung mikrokosmos manusia dengan makrokosmos Tuhan, alam semesta.
Kritik mendasar terhadap pisowanan agung adalah kelemahannya dalam menangkap keinginan Sultan untuk kembali ke lingkaran keraton, sebagai simbol pusaran pertemuan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Sultan, seperti tampak dalam berbagai pernyataannya, ingin memperkuat kembali legitimasi kekuasaan raja Jawa dengan memperkokoh hubungan antara dunia materi (res extensa) dan dunia batin atau roh (res cogitans).
Memang, sebagai simbol integritas moral dan kekuasaan, seorang raja jelas boleh berpolitik dan memberikan statemen politik. Tetapi yang harus diperhatikan di sini adalah kedudukan seorang raja yang menjadi simbol integritas moral dan kekuasaan. Seorang raja yang akan memberikan statemen politik selalu diperhitungkan secara matang.
Dalam tradisi raja-raja Jawa, untuk merumuskan suatu kebijakan atau statemen politik, laku spiritual menjadi pilihan wajib. Sebelum memberikan statemen politik, seorang raja menjalani laku spiritual yang akan memperkuat legitimasi politiknya. Sebab, seorang raja pantang menjilat ludahnya sendiri. Tetapi, dalam konteks statemen politik Sultan baru-baru ini, seakan-akan falsafah Jawa sudah tidak berlaku lagi.
Sabda Pandita Ratu merupakan filosofi kepemimpinan ala Jawa yang menjelaskan bahwa kedudukan seorang raja merepresentasikan pucuk pimpinan kekuasaan (politik) dan agama (moral). Dalam catatan sejarah raja-raja Mataram, belum ada sebuah pernyataan raja yang ditarik kembali hanya karena alasan politik. Tentu saja statemen Sultan HB X baru-baru ini dianggap telah mengorbankan kredibilitas sekaligus kharisma seorang raja Mataram, pucuk pimpinan kekuasaan (politik) dan agama (moral).
Kritik Sosial Pisowanan Agung
PisowananAgung tak urung menuai kritik dari seorang pengunjuk rasa, Gunawan mengenakan busana Jawa Pranakan, duduk berdiam diri di selasar gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Jumat (24/10), dengan menggendong seekor ayam jago di samping kiri kanannya terbentang berbagai misi yang diembannya.
Salah satu kalimat yang tertera di spanduk-spanduk itu antara lain berbunyi pisowanan ijen, merupakan manifestasi suara kebenaran selalu dalam keadaan sendirian (terpinggirkan). Ini merupakan kritik sosial terhadap Gelar Pisowanan Agung yang telah digeser makna dan fungsinya sehingga sebagai budaya adiluhung yang sarat dengan makna kultural-spiritual, hanya dijadikan komoditas politik (pelecehan budaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar