Minggu, 02 November 2008

Berburu Burung di Pasar Ngasem


Beberapa waktu lalu saat saya jalan-jalan ke salah satu culture heritage di jantung Kota Yogyakarta, Taman Sari belumlah lengkap jika tak mampir di sebelah baratnya.. Sebab di tak jauh dari tempat parkir terdapat pameran burung berjajar memenuhi ruas jalan. Jadi sayang rasanya kalau tak didatangi.

Di masa lampau kepemilikan atas simbol-simbol material sebagai peneguh status dan prestise sosial berlaku dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya bagi kaum priyayi dan lingkungan keraton. Salah satunya adalah mempunyai burung peliharaan. Pada masyarakat Jawa, memiliki burung peliharaan merupakan lambang status sosial atau tingginya selera seseorang pada aktivitas hobi tertentu. Setelah kuda sebagai alat transportasi, keris sbagai senjata perang, maka burung menempati posisi ke-3 sebagai alat ukur status sosial.

Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu pendorong keberadaan pasar burung. Sebagai pasar burung, Pasar Ngasem telah beroperasi sejak tahun 1909. Fakta tersebut yang menjadikan Pasar Ngasem sebagai pasar burung tertua di Yogyakarta tepatnya terletak di Jl. Polowijan, Kecamatan Keraton. Pasar burung Ngasem sebenarnya sebuah perkampungan biasa. Hanya saja, konon tempat ini merupakan sebuah sanau yang digunakan Sultan Hamengkubuwono II melakukan plesir melihat-lihat keindahan Kraton pada zaman kerajaan.

Sejauh ini, ada dua versi mengenai sejarah Pasar Ngasem sebagai pasar burung. Versi pertama menyebutkan, Pasar Burung Ngasem mulai berkembang menjelang tahun 1960. Tepatnya sejak dipindahkannya pedagang burung dari Pasar Beringharjo ke Ngasem, 44 tahun lalu.
Sedang menurut versi kedua, Pasar Burung Ngasem sudah ada sejak dua abad lalu. Hal ini diperkuat oleh bukti adanya foto tahun 1809 yang dimuat situs http://www.tembi.org. Foto yang menghiasi tulisan “Djogdja Tempo Doeloe” tersebut memperlihatkan kegiatan perdagangan burung di Pasar Ngasem. Bila di tahun 1809 saja sudah ada perdagangan burung di Pasar Ngasem, bisa jadi Pasar Burung Ngasem sudah ada sebelum itu. Ini berarti Pasar Burung Ngasem merupakan pasar burung tertua di Indonesia. Kalaupun 44 tahun lalu ada perpindahan pedagang burung dari Pasar Beringharjo ke Pasar Ngasem, hal itu hanyalah usaha menyatukan pasar burung ke Pasar Ngasem yang telah berkembang lebih dulu.

Pasar Burung Ngasem sesungguhnya hanya menempati areal sekitar sepertiga Pasar Ngasem. Ditinjau dari variasi koleksinya, Pasar Burung Ngasem dapat dikatakan sebagai pasar burung terlengkap di Indonesia. Burung apa saja dapat ditemui di sini. Tidak hanya burung lokal (Indonesia) seperti kutilang, kepodang, emprit, prenjak, jalak, parkit, betet, derkuku, perkutut, dara, cucakrawa, kacer, murai, elang/gagak, kenari dan beo saja yang diperjualbelikan di Ngasem. Burung-burung hasil penangkaran dari mancanegara seperti poksay dari Cina, gelatik silver dari Kanada dan berbagai burung yang bukan khas Indonesia, juga dapat ditemui di Ngasem. Sehingga juga tak salah bila Pasar Burung Ngasem sudah layak diberi predikat Pasar Burung Internasional

Pasar Burung Ngasem memang potensial dijadikan objek wisata. Satwa yang diperjualbelikan, kecuali beragam dan menarik, juga kaya akan cerita. Misalnya tentang ayam cemani yang sering digunakan untuk keperluan upacara tradisi. Letak pasar yang dekat Kraton dan bersebelahan dengan Tamansari juga merupakan nilai lebih tersendiri. Sayang kondisi pasar tak dibenahi secara optimal, sehingga terkesan kumuh. Juga belum ada pengemasan dalam bentuk cerita dan gambar secara khusus terhadap koleksi satwa di Pasar Ngasem yang disajikan untuk para wisatawan, sehingga daya tarik Pasar Ngasem belum banyak terungkap.(*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar