Hari Minggu. Saatnya memanjakan diri, ditemani sepiring nasi goreng plus telur mata sapi bersama dengan teman kost, saya asyik membabat habis film yang dibesut oleh empat sutradara perempuan berbakat bertajuk “Perempuan Punya Cerita”.
Film yang diproduksi Kalyana Shira Film ini merupakan kumpulan 4 film pendek tentang perempuan, memperpanjang daftar film Indonesia pascareformasi yang dibuat dengan mendekati subyek mereka dengan memakai perspektif perempuan. Sebelumnya, kita sudah melihat Pasir Berbisik (Nan T. Achnas), Eliana-eliana (Riri Riza), dan Berbagi Suami (Nia Dinata). Juga, dalam skala lebih luas dan longgar, Marsinah (Slamet Rahardjo). Dengan pernyataan tegas di berbagai materi publikasi film ini, maka Perempuan Punya Cerita menjadi film dengan sebuah pernyataan politik: perempuan sedang mendaku posisi mereka dalam ranah film di Indonesia.
Film ini dibagi dalam segmen-segmen: Cerita Pulau (sutradara Faitmah T. Rony dan skenario Vivin Idris), Cerita Yogyakarta (Upi dan Vivian Idris), Cerita Cibinong (Nia Dinata dan Melissa Karim) dan Cerita Jakarta (Lasja F. Sutanto dan Melissa Karim).
SINOPSIS Taken From Ruang Film.com
Cerita Pulau
Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka) mendedikasikan hidupnya untuk kesehatan ibu dan anak di pulau ber penduduk padat, tak jauh dari Jakarta. Terbatasnya akses transportasi dan komunikasi ke luar pulau membuat posisi Sumantri sebagai satu-satunya bidan menjadi tak tergantikan. Dia kerap kali mengesampingkan kepentingan pribadi, termasuk kesehatannya demi mendahulukan pasiennya.
Saat dokter memvonisnya dengan kanker dan harus menjalani perawatan di Jakarta, Wulan (Rachel Maryam), seorang pasien yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri, diperkosa dan hamil. Kondisi psikis Wulan yang istimewa membuatnya tak mungkin merawat dan membesarkan seorang anak, dan Sumantri yang protektif berniat meng-aborsi kandungan Wulan, namun menghadapi dilema berat, karena keyakinan masyarakat setempat yang menentang keras aborsi.
Cerita Yogyakarta
Safina (Kirana Larasati) dan kelompoknya adalah pelajar SMA di Yogyakarta, kota turis yang juga kota pelajar. Warnet yang menjamur di pelosok kota tidak hanya memenuhi kebutuhan para mahasiswa akan teknologi, namun juga Safina, siswa SMA dan teman seusianya. Para remaja yang memasuki masa puber dan sedang getol mengeksplorasi banyak hal utama yang berkaitan dengan seks. Akses luas internet membuai sekelompok anak remaja ini untuk bereksperimen dengan seks tanpa bekal pengetahuan lengkap. Ketika Jay Anwar Fauzi Baadila), jurnalis dari Jakarta tiba di Yogya untuk riset tulisannya, Safina jatuh hati padanya. Dua sejoli ini saling memanfaatkan untuk kepentingan pribadi, dan Safina yang naif mempertaruhkan masa depannya untuk pria ini.
3. Cerita Cibinong
Esi (Shanty), pembersih WC di klub dangdut Merem Melek bekerja keras untuk biaya hidup dan pendidikan Maesaroh, putri semata wayangnya. Ia nyaris putus asa ketika mendapatkan Narto, kekasihnya melecehkan Maesaroh. Beruntunglah Esi karena Cicih (Sarah Sechan), primadona klub Merem Melek memberi perlindungan dan tempat tinggal. Saat akan membangun kembali mimpinya, Esi dihadapi pada kenyataan pahit, karena Cicih dan Maesaroh terjerat sindikat perdagangan perempuan.
4. Cerita Jakarta
Laksmi (Susan Bachtiar), janda beranak satu yang kehilangan suaminya karena HIV/AIDS. Masih dalam suasana berduka, ia harus menghadapi kenyataan, bahwa dirinya tertular virus mematikan itu, dan keluarga suaminya berkeras mengambil alih hak asuh Belinda, anak perempuannya. Naluri seorang ibu membuatnya bertahan untuk tetap mengasuh Belinda, meskipun ia harus kehilangan semua hartanya, dan bersusah payah membawa Belinda berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sampai akhirnya Laksmi mengambil keputusan besar, demi memberikan yang terbaik bagi Belinda dan dirinya.
Dalam keempat cerita tersebut, perempuan bergelut dengan masalahnya sendiri. Persoalan penyakit kanker, aborsi, perdagangan perempuan juga terjangkitnya HIV/AIDS tanpa sengaja. Semuanya berujung pada ketidakberdayaan perempuan menghadapi persoalannya. Bahkan lalu mereka terasing atau diasingkan oleh lingkungannya.
Ketidakberdayaan perempuan dipotret untuk menjadi semacam representasi bahwa perempuan di negeri ini memang tak berdaya dan perlu ditolong. Perempuan hanya menjadi semacam layang-layang yang pasrah diterbangkan angin dan tak punya kuasa sendiri mengendalikan arah. Bahkan ending cerita selalu berakhir ironis dan tragis, secara gambalnag menyuguhkan gambaran perempuan yang selalu disudutkan, tak ada acelah melawan.
Pada Cerita Yogya, para perempuan juga sama tak berdayanya dengan cerita Pulau, jika cerita pulau sumber ketidakberdayaan itu adalah lingkungan, maka pada cerita ini, sumbernya adalah kenaifan dan gullibility-nya anak-anak perempuan usia SMA itu.
Kisah dibuka dengan seorang anak perempuan berseragam putih abu-abu yang hamil dan meminta pacarnya bertanggungjawab. Sang pacar menolak sambil tertawa karena menurutnya si perempuan itu “digilir” berempat bersama teman-teman satu geng si pacar. Anak perempuan ini marah, tapi ia tak bisa apa-apa. Ia mencari jalan lain, aborsi dengan nanas dan minuman soda untuk melunturkan janin, tapi ternyata tak semudah itu. Aborsi demikian menakutkan. Mau tak mau salah satu dari empat laki-laki yang gemar membuka situs porno di warnet itu harus menikahi si hamil.
Sementara itu persoalan mereka diamati oleh seorang wartawan media Tumpas yang mengaku mahasiswa, Jay Anwar, yang sedang mengunjungi kota itu dalam rangka riset tulisan. Jay terlibat dalam hubungan pertemanan dengan empat laki-laki yang menggilir si hamil. Ia juga menjalin hubungan dengan salah satu teman si hamil, Safina. Jay menjadi semacam role model bagi gang anak SMA ini dan karena keluguan Safina menganggap Jay adalah pria yang tepat untuk memberikan keperawanan Safina pada Jay yang tampan dan simpatik. Ternyata Jay hanya memanfaatkan Safina demi mempertajam tulisannya. Keluguan itu makin tampak ketika Safina mengomentari kasus sekolahnya yang diecpose oleh Koran Tumpas.
Film ini memang sebuah subversi dari Ada Apa dengan Cinta? Persahabatan anak berseragam putih abu-abu sama naifnya, sekalipun topik perbincangan mereka jauh berbeda. Bukan majalah dinding atau puisi dari lelaki bermata tajam yang bahan obrolan, tapi soal aborsi dan kepada siapa keperawanan akan dipersembahkan. Inilah sebuah potret yang hadir telanjang, termasuk perempuan berseragam putih abu-abu berjilbab yang asik saja merokok tanpa beban bahkan nyeletuk, “wah gimana rasanya digilir, aku jadi kepingin”.
Para perempuan dalam film ini menjadi korban dari pernyataan para pembuat film. Demi melakukan representasi potret perempuan, mereka menyudutkan dan menghajar perempuan baik dari luar (Cerita Pulau) maupun dari diri perempuan sendiri (Cerita Yogya). Tak terlihat ada simpati terhadap nasib perempuan, apalagi empati. Akibatnya, pernyataan pembuat cerita dan film jadi lebih penting ketimbang subjek yang mereka bela. Untunglah bahwa film ini disusun dengan urut-urutan seperti ini. Dengan Cerita Jakarta, sebagai penutup, penonton masih bisa merasa simpati terhadap perempuan di akhir film, bahkan saya saja sampai menangis dibuatnya.
Inilah cerita yang berhasil mengantarkan perjuangan perempuan dalam arti terkerasnya, justru dengan cara yang halus. Karakter Laksmi dan pemilihan Susan Bachtiar untuk bermain di segmen ini membuat cerita ini terlupakan sebagai sebuah kampanye tentang sikap antidiskriminasi terhadap penderita AIDS. Yang sampai adalah sebuah kisah universal tentang seorang perempuan yang berjuang dengan segala penderitaannya akibat penyakit dan yang ia tahu hanyalah menyayangi anaknya sepenuh hati. Maka kita paham bahwa dalam situasi semacam ini memang kaum perempuanlah yang selalu dirugikan oleh keadaan.
Di luar problem internal perempuan sendiri, film ini cukup untuk memberikan gambaran tentang peliknya persoalan perempuan di negeri ini. Juga menyadarkan betapa masih banyak persoalan perempuan yang menuntut campur tangan kita untuk turut memecahkannya.
we...
BalasHapusdirimu punya filmnya to...
pinjem dunk