Senin, 02 Maret 2009

Lebih Enak dengan Sego Abang

Kepulan aroma sego abang atau nasi merah menyebarkan bau harum yang merangsang nafsu makan. Dengan teman sayur lombok ijo atau cabai hijau, terancam, gudeg daun kates atau pepaya, iso, babat, empal, ayam goreng dan ikan wader, lidah ini seolah diajak menari mengikuti kelezatan nasi merah khas Gunungkidul.

Memang ada sejumlah rumah makan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menawarkan nasi merah sebagai menu favorit, tetapi warung makan lesehan pari gogo
-terletak sebelum jembatan Jirak Jalan Wonosari- milik Ibu Purwanto (65) ini merupakan salah satu yang tertua dan tetap mempertahankan aroma khas nasi merah.
Warung makan nasi merah bukan seperti yang dibayangkan menempati bangunan besar. Akan tetapi hanya berupa bangunan dari papan dan kayu bercat biru dengan luas ruangan kurang lebih 10 x 6 meter. Pengunjung bisa memilih menyantap di meja plus kursi kayu atau bersantai ria di balai kayu yang beralas tikar.

Biasanya setelah pengunjung mencicipi satu porsi, tidak lama lagi bisa minta tambah karena lauk-lauk yang disajikan mengundang selera makan yang tidak bisa ditahan. Selain babat, iso, empal dan ayam, ada pula menu tambahan berupa tempe garit atau tempe yang digoreng dibuat garis-garis memakai pisau dan hanya berbumbu bawang putih plus garam. Tidak lupa dibubuhi sambal mentah, membuat pengunjung terus menyendok nasi. Semua lauknya berbahan rempah-rempah tradisional dan tidak menggunakan penyedap rasa instan.

Kenikmatan Beragam
Keunikan nasi merah, terlihat dari warna berasnya yang merah, ukuran lebih besar, aroma lebih harum dan jenis bibitnya yang istimewa. Bagaimana tidak? Berasnya hanya menanam sedikit dan dipanen setiap satu tahun sekali. Pemilik warung pun harus memesan sampai ke Wonogiri Jawa Tengah. Jadi, belum dipanen sudah dipesan terlebih dulu. Tak heran jika nasi merah hanya dijual mulai pukul 10.00 sampai 14.00. Di luar itu pengelola melayani nasi putih.

Sementara lauknya dihidangkan dan disantap dalam keadaan hangat. Misalnya, babat dan isonya diungkep atau direbus dulu baru digoreng agar tidak keluar gajihnya. Sayur lombok ijo terdiri dari cabai hijau besar diris-iris, potongan tempe dengan kuah santan dan minyak yang ditaburi bawang goreng. Begitu pun gudeg kates yang tidak lagi terasa pahit di lidah. Bagi penikmat lalap juga disediakan terancam yaitu kacang panjang, kubis, kecambah dan kemangi mentah dicampur parutan kelapa dan bumbu pedas. Minuman yang disediakan memang tidak lengkap tapi air jeruk dan teh pocinya terasa manis sekali karena dicampur dengan gula batu.

Pengunjung yang memburu nasi merah, kebanyakan memilih babat iso dan keripik walang atau belalang. Sekilas memang mengerikan makan keripik belalang, tetapi setelah dicoba hmm siapa sangka rasanya renyah seperti makan udang . Pada bagian kepala dan kaki sedikit keras jadi bisa dimakan bisa tidak. Cara membuatnya pun tak jauh berbeda dengan bumbu bacem kemudian digoreng. Tetapi dengan terlebih dahulu menghilangkan ‘senjata’ si belalang. Karena menghilangkan senjatanya sulit maka harga keripik walang satu ons dipatok Rp. 10.000,-.
Untuk soal harga, pengunjung tidak perlu merogoh kocek mahal. Satu porsi nasi merah plus sayur Lombok ijo harganya hanya Rp. 3000,- jika memakai lauk berupa babat iso, ayam, empal maupun wader satu porsi Rp. 9.000,-. Lain halnya kalau porsinya nambah tinggal dijumlah saja.

Warisan Turun Temurun
Warung makan tersebut berdiri sejak tahun 1945, dan pengelolanya yang sekarang merupakan generasi ketiga. Karena sudah berdiri kurang lebih 63 tahun, tidak heran jika warung makan tersebut sudah punya banyak pelanggan dan selalu dikunjungi pembeli yang berasal dari luar kota. Uniknya hingga kini warung lesehan pari gogo ini tidak membuka cabang. Bahkan beberapa pejabat juga menyempatkan mencicipi nasi merah ini. Di antaranya, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Pimpinan Umum Kedaulatan Rakyat Wonohito, Guruh Soekarno Putra, dan mantan Ketua DPR RI Akbar Tanjung.
Meski sudah berdiri lama tetapi pengelola tetap mempertahankan warung tersebut dengan tidak memugarnya menjadi bangunan tembok. Sampai sekarang pengelola belum terpikir untuk merehab warung . Padahal selama ini belum pernah melakukan promosi baik melalui leaflet atau media. Kebanyakan pengunjung yang datang hanya tahu dari mulut ke mulut atau media yang pernah meliput. Dalam sehari rata-rata selalu habis, terlebih jika hari libur atau hari minggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar