Meski hajatan nasional Pemilihan Umum (Pemilu) akan berlangsung tahun ini, namun pelaksanaan Ujian Nasional (UN)untuk siswa Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas/Kejuruan tidak dimajukan dan tetap akan diselenggarakan pada April 2009. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penyelengaraan UN kerap menuai kontroversi. Mulai dari soal-saol UN yang seragam, standar nilai yang sama sampai dengan sikap dilematis para guru yang ingin ‘menyelamatkan’ anak didiknya dari jurang ketidaklulusan dengan berusaha membantu para siswa mengerjakan soal, dan para siswa sendiri yang berbuat curang demi lulus UN.
Pemerintah sejatinya bercermin dari pengalaman. Tingkat kelulusan UN 2008 mengalami penurunan jika dibanding dengan tahun sebelumnya. Di Jakarta saja sebanyak 7.991 siswa SMA/SMK tidak lulus UN. Hal ini disebabkan bertambahnya jumlah mata pelajaran yang diuji, tetapi mereka tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk mengulang pelajaran semasa SMA/SMK, apalagi dengan kurikulum yang senantiasa berganti-ganti.
Bisa dibayangkan jika siswa hanya diberikan waktu satu sampai dua bulan untuk mempersiapkan UN dengan jumlah mata pelajaran yang setara dengan tahun sebelumnya, akan ada berapa banyak siswa yang tidak lulus? Ada berapa banyak lagi siswa yang tertangkap berbuat curang untuk mendapatkan nilai baik? Tentu ini tidak sesuai dengan esensi UN yang ingin meningkatkan kecerdasan bangsa.
Peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut: memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya; dan khusus untuk SMK nilai uji kompetensi keahlian minimum 7,00, dengan nilai teori kejuruan minimum 5, nilai uji kompetensi keahlian digunakan untuk menghitung nilai rata-rata UN.
Merasa beratkah para siswa? Tentunya berita seperti ini membuat sebagian besar siswa merasa takut, khawatir, dan bahkan merasa terbebani. Mereka pun pada akhirnya terjebak pada rutinitas belajar yang melebih kapasitas. Tak heran jika banyak siswa yang putus asa, karena sudah khawatir tidak bisa menempuh UN sehingga memilih jalan pintas dengan berbuat curang yaitu mencontek Rasa seperti itu sebenarnya wajar-wajar saja, mengingat usaha mereka selama hampir tiga tahun belajar sementara nasib mereka hanya ditentukan pada hari-hari pelaksanaan UN.
Banyak dari siswa yang bahkan sudah merasa hopless mengikuti UN, lantaran takut kalau tidak lulus dan harus mengulang setahun lagi. Tentunya segelintir problem di atas layak dipertimbangkan untuk merevisi UN. Diperlukan masukan-masukan dari pelbagai pihak terkait untuk perbaikan mekanisme UN ke depan. Tugas itulah yang menjadi ”Pekerjaan Rumah” bagi semua pihak, tidak hanya sekolah tapi juga pemerintah sebagai decision maker.
Dengan adanya beberapa perubahan kebijakan, kita tunggu saja buktinya ada apa di UN tahun ini, apakah menjadi lebih baik atau justru semakin akut.(*)
tapi,bund...
BalasHapusdengan sistem UN yg begini, aku bisa dapat pekerjaan..
meskipun sebenarnya aku kasihan ama anak-anak zaman sekarang...