Sudah barang tentu banyak dari kawan-kawan yang memiliki cerita seputar gempa yang mengguncang bumi Yogyakarta dan sekitarnya dengan kekuatan 5,9 skala richter. Pun cerita itu pastilah membuat kita menera betapa musibah yang datang tanpa permisi itu meluluhlantakkan bangunan dan juga menghilangkan nyawa mereka yang tak sempat menyelamatkan diri. Di luar cerita tragik, tentu juga terselip banyak sekali pernik-pernik kecil yang sempat mampir di tragedi akhir Mei 2006 itu.
Saya tak ingin berpanjang menceritakan aroma kesedihan itu, kawan. Terlalu getir bila mengingatnya. Saya hanya sedikit berbagi ihwal gempa yang terjadi pukul 05.55 WIB.
Jum’at, 26 Mei 2006
Saat itu (saya masih aktif di Ekspresi), malam 26 Mei 2006 selepas pertemuan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang membahas perumusan konsep wilayah pascaberubahnya struktur PPMI dalam kongres di Makassar. Pertemuan itu masih di Goeboek Coffe yang lama. Kira-kira pukul 10 lebih, saya pun beringsut ke EKSPRESI (saat itu masih di rektorat lama) karena teringat kalau malam itu seperti biasa ada presentasi KJM oleh Fauz. Malam dingin itu kru KJM pun larut dalam cerita “Sekolah Alternatif Qoriyah Thoyibah” di Salatiga dan sosok pendirinya Pak Bahrudin. Saat itu Fauz (kini sibuk jadi aktivis) mempertanyakan bisakah kita mewujudkan masyarakat tanpa sekolah?
Sabtu, 27 Mei 2006
Dini hari mula menyapa, pembicaraan pun mulai menghangat hingga kadang-kadang ngelantur. Saat itulah entah bagaimana kami mendengar Obet (kini jadi guru “spiritual” di Lombok) berceloteh perihal fenomena alam, salah satunya ialah gejala alam yang mengerikan. Kami sama sekali tak menyadari apa yang terjadi selanjutnya.
Dingin menyergap, satu per satu mata mulai mengantuk, jam sudah menunjukkan jam lima lebih, Fauz juga sudah kembali ke Mushola di Jakal, anak-anak cowok mulai tidur tak beraturan di runag baca. Aku juga langsung menuju kamar kecil dan mulai merebahkan tubuh serta memejamkan mata, detik ke berapa kemudian ada getaran mahadahsyat dan aku masih menganggap itu sebagai mimpi. Nufus (sekarang masih sibuk skripsi) yang sedang menyelesaikan tahiyat akhir sholat subuhnya tiba-tiba juga mengajakku keluar dan melompati jendela yang saat itu tidak terkunci bersama dengan kawan yang lain, Dani, Budi,Tiwi, Uwik,MasTono, Mas Antok, Kalam, Agung, Hesti dll panik sekaligus lega gempa yang cukup lama itu pun reda dan masing-masing dari kami menatap Merapi yang bersahabat.
Kami heran, karena mengira Merapi sedang marah mengingat isu Merapi siap memuntahkan laharnya saat itu begitu santer. Ada apa ini?
Pukul 10.00
Aku pun penasaran ingin melihat keadaan kost. Yang ada dalam pikiran saat itu, kalau aku tidur di kost jadi seperti apa, medannya terlalu sulit untuk menyelamatkan diri, sudah itu tak berjendela juga. Aku menemukan keretakan di tembok kost. Karena masih khawatir aku pun ingin segera keluar lagi ke Ekspresi. Aku dan Uwik berjalan perlahan tiba-tiba banyak orang berebutan lari menuju utara, bahkan melupakan rumah-rumah mereka yang tak berkunci. Semua heboh, panik karena mendengar air bah sudah sampai ke Bantul Kota.
Aku sama Uwik entah kenapa tak ikut berlari, hanya jalan biasa dan bersirobok dengan pak polisi yang mengatakan jika isu tsunami itu tidak benar, Dia meyakinkan pada kami bahwa pihaknya sudah mengecek di pos Bantul. Kami pun lega dan segera menuju ke Ekspresi yang di sana sudah ada beberapa kawan. Kami mendengar cerita kawan-kawan yang sudah melenggang ke Cangkringan, Jakal dan sebagainya. Sungguh kami tak juga belum tahu berapa korban dan daerah mana saja yang kena dampak karena saluran TV belum menyala.
Pukul 23.00
Isu gempa susulan masih akrab di telinga kami, tak ada pilihan selain tidur berjamaah di ekspresi, sebagian bahkan ada yang tidur beralas karpet merah atau malah tidak tidur lantaran terjadi gempa lagi. Kami hanya melihat berita, ngobrol seputar gempa dan membayangkan seperti apa piala dunia nanti dengan kondisi seperti ini.
Minggu, 28 Mei 2009
Melalui pelbagai pertimbangan dari beberapa kawan persma, akhirnya terbetiklah inisiatif membuat posko untuk meringankan kawan-kawan persma yang ikut tertimpa musibah. Rencana yang akhirnya dikomandani oleh Suen itu awalnya hanya fokus pada kawan-kawan persma, tapi tak lama kemudian berkoalisi dengan Mba Herlin dan Mas Zen agar bantuan bisa benar-benar merata dan sampai pada yang benar-benar membutuhkannya.
Posko persma, namanya. Posko yang terbuka itu pun mulai menyisir kawasan kota seperti Bintaran, Code, Warung Boto, Taman Siswa, Sidikan, Sapen dan juga di luar kota seperti Prambanan, Berbah, Piyungan, Bantul, Pleret, Jetis, Imogiri dan lain-lain. Pekerjaan mulai terbagi, ada Nessy di bagian distribusi sembako, Mas Anto di bagian gudang, aku dan Iip di bagian recovery, Jun di bagian analisis data dan keuangan dan Evi (Ibu guru) di bagian distribusi alat tulis, sementara sisanya menjadi relawan yang berpencar.
Rabu 21 Juni- Rabu 5 Juli 2006
Sejumlah kawan-kawan pun berangkat ke Posko Recovery Mental di Gayam, Dlingo, Bantul. Ya kami tak bisa melakukan banyak hanya sekadar menghibur dengan apa yang bisa kami lakukan saja, tak lebih. Semoga itu berkenan di hati warganya. Tempat yang kami jadikan tujuan itu sudah melewati perbincangan dari banyak sudut pandang. Dan kami juga sudah dibekali Workhsop Pendidikan Alternatif yang diisi oleh mas Faiz. Setidaknya cukup sebagai bekal menghadapi 191 siswa/i sekolah dan 17 anak balita.
Berpijak dari beberapa kali pertemuan, terbetiklah sebuah nama untuk recovery yaitu Sekolah Alam Gayam Gembira yang dikomandai Iip (sekarang di Brebes), dengan staf Ian Natas dan Siti UAD, sementara Evi di bagian administrasi, serta aku dan noval UII di bagian pendidikan. Relawan dari persma maupun bukan banyak juga yang tertarik bergabung seperti, Suen, Fajar, Mia, Leni, Yulita, Yaya, Putri, Dita, Jun, Ridha, Kajol, rusli dan masih ada beberapa yang terkadang mampir.
Hidup di Gayam meski hanya dua minggu membawa banyak warna dan membuat kami jadi makin mandiri, layaknya KKN. Programnya antara lain mulai dari perkenalan, outbond, les, games, menggambar, membuat majalah dinding, dongeng, membaca, mengarang, aneka lomba, pengajian, taman bacaan, pelatihan public speaking, hukum, kepemimpinan, perpustakaan dan sebagainya. Semua itu bisa berjalan karena bantuan dari para donatur . Terimakasih semuanya.
Semua seperti berbaur, tidur di bawah langit bertabur bintang, masak sendiri, makin mengenal rekan-rekan posko sampai kebiasaan lucunya. Untuk mengisi kekosongan kami kerap bermain truth or dear, akh permainan yang mendebarkan karena harus menjawab pertanyaan di luar dugaan. Terus ada juga yang dapat hukuman nyuci piring sampai posko berakhir karena menghapus semua gambar untuk LPJ di kamera. Wah banyak sekali kejadian unik yang tak bisa disebutkan satu per satu.
Dari masa yang relatif lama itu –mulai dari distribusi sembako, recovery dan distribusi alat tulis- di antara kita jadi makin saling mengenal, ada yang berjarak, ada yang merasa nyaman, ada yang betah, ada yang salah paham. Semua punya lipatan kenangan masing-masing. Mungkin ada yang berkenan membuka lipatan itu dalam kisah ini……..
Baca postinganmu jadi teringat kejadian 3 tahun lalu mbak. Walau aku gak sempet ikut posko recovery mental di Dlingo (aku kan di posko Karang Semut hehehe) tapi sempat gabung sama temen-temen posko persma dan muter2 Jogja buat distribusi bantuan.
BalasHapusSaat gempa terjadi aku ada di wonosobo,, dan di sana juga merasakan gempa yang cukup besar. Setelah itu dapat kabar akan terjadi tsunami. Kawan-kawan di Jogja tidak ada yang bisa dihubungi. Semakin sore melihat berita di TV kondisi Jogja semakin menyedihkan,, dan aku cuma bisa nangis di rumah mikirin nasib kawan-kawan yang di Jogja.
Meski dilarang ibu pada hari selasa memutuskan untuk berangkat ke Jogja dan bergabung dengan teman2 di posko persma,, hmm,,,,kok tiba2 jadi inget "kaos relawanku dimana ya?" hehehehehehe
walah dari awal bernostalgia, ujung2nya nyari kaos relawan. Ayo dicari dunk kaosnya, banyak kenangannya tuh hehe
BalasHapus