
Menyaksikan di layar gelas, pemberitaan mengenai video syur mirip artis Luna Maya, Ariel dan Cut Tary awalnya membuat saya kaget dan tak menyangka. Benarkah, mereka yang sedang di puncak popularitas karena baru saja membintangi produk internasional itu, begitu gegabahnya hingga ‘kecolongan’ kasus seperti itu. Tapi kita –sebagai masyarakat awam- hendaknya membiarkan kasus ini diselesaikan oleh pihak yang berwenang. Biarlah mereka mencari bukti dan faktanya sampai benar-benar terbukti apakah mereka bersalah atau tidak (asas praduga tak bersalah).
Tapi yang terjadi, banyak orang yang terburu-buru menjustifikasi kalau mereka memang benar-benar pelakunya, bukan sekadar rekayasa seperti kasus-kasus sebelumnya. Padahal mereka masih dalam tahap pemeriksaan. Terlepas dari apa yang dituduhkan banyak pihak terhadap apa yang mereka perbuat, saya hanya ingin sharing mengenai batasan dan ranah ruang privat dan publik yang semua orang –apapun profesinya- memiliki.
Kehidupan sosial manusia terdiri dari dua bentuk ruang, yakni ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat untuk membicarakan segala sesuatu yang terkait dengan kepentingan bersama. Misalnya masyarakat membicarakan tentang bagaimana menangani korban gempa, memerangi korupsi, memilih presiden, kenaikan harga BBM dan sebagainya. Ruang publik adalah ruang politis.
Selain ruang publik di sisi lain masyarakat juga mengenal adanya ruang privat. Ruang privat adalah tempat bagi setiap pribadi untuk mengembangkan diri dan bertindak sesuai dengan dorongan pribadinya, tanpa perlu ada campur tangan dari orang lain. Misalnya saya ingin tidur terbalik, saya ingin punya pacar lebih dari satu, atau saya makan sayur yang dicampur dengan buah. Semua itu adalah urusan privat. Orang lain tidak boleh dan tidak berhak untuk mencampurinya.
Pendapat itu diungkapkan oleh seorang filsuf Amerika yang bernama Richard Rorty. Menurutnya gosip adalah publikasi ruang privat. Artinya segala sesuatu yang sebenarnya urusan pribadi kini menjadi bahan pembicaraan publik. Gosip adalah pelanggaran atas privasi
Pun termasuk gosip ariel dan dua rekan artis yang tersandung masalah itu, saya berani mengatakan bahwa itu masih dalam taraf gosip, meski video tersebut telah merebak luas dan terlihat nyaris mirip seperti aslinya.
Mengapa dan dari mana gosip itu muncul? Sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut secara lugas tanpa terjebak pada asumsi-asumsi pribadi. Ya, untuk sekadar diketahui, saya acapkali berasumsi bahwa gosip sama saja ngomongin sesuatu yang belum dipastikan kebenarannya tentang seseorang, baik itu selebritas atau teman atau bahkan rekan kerja. Yang perlu digaris bawahi ialah kasus Ariel masih belum terbukti oleh pihak yang berwenang. Jadi sampai sebatas ini saya masih menganngap kasus Ariel sebagai gosip.
Jika mengacu pada Wikipedia, gosip mempunyai makna “sebuah pembicaraan mengenai kabar burung atau rumor, terutama mengenai persoalan pribadi seseorang yang bisa jadi menyangkut hubungannya dengan orang lain, dimana kebenarannya kebanyakan tidak dapat dibuktikan dengan fakta. Dan dalam sosiologi sendiri, gosip dapat digunakan untuk “menyerang” lawan ketika kita berada dalam situasi kontravensi (lebih dari persaingan tetapi belum/tidak menjadi konflik terbuka) dengan orang lain”.
Sementara menurut para filsuf positivisme logis yang berkembang pada awal abad ke-20, intinya sangat sederhana yakni hanya pernyataan yang bisa diuji di dalam kenyataanlah yang layak menjadi dasar dari sesuatu. Artinya pernyataan atau suatu kasus itu bisa dianggap benar, jika dapat ditemukan bukti-bukti konkret yang dapat diketahui oleh panca indera manusia.
Pandangan Francis Bacon seorang filsuf asal Inggris, hidup pada abad ke-17 yang saya unduh dari internet kiranya bisa membantu kita memahami anatomi gosip. Ia berpendapat bahwa di dalam proses untuk mencapai kebenaran, manusia seringkali dihalangi oleh idola-idola. Menurutnya gosip tersusun dari idola-idola yang menutupi mata dan pikiran manusia dari kebenaran. Ariel adalah perumpamaan subjek yang diidolakan oleh penggemarnya. Apapun yang dilakukan oleh Ariel yang notabene publik figur akan tetap baik, bahkan fashion dan gaya hidupnya pun jadi rujukan.
Ada empat bentuk idola yang dirumuskan oleh Bacon. Yang pertama adalah idola tribus, yakni kecenderungan manusia untuk melihat adanya tatanan di dalam sistem lebih daripada apa yang sebenarnya ada. Misalnya ilusi yang dibangun Suharto pada masa pemerintahan orde baru membuat orang melihat adanya kestabilan (peningkatan ekonomi dan kestabilan politis) yang lebih daripada apa yang sebenarnya ada (korupsi dan penculikan aktivis yang berpikiran kritis). Idola tribus menutupi mata dan pikiran manusia dari kebenaran.
Yang kedua adalah idola cava, yakni kecenderungan orang untuk menilai orang lain ataupun suatu peristiwa dengan berdasar pada sentimen pribadi, dan bukan dengan kejernihan akal budi. Misalnya karena seorang direktur suatu perusahaan tidak menyukai bawahannya, maka ia memecatnya tanpa alasan yang jelas. Di dalam idola cava ini, rasa like and dislike lebih kuat mempengaruhi keputusan, daripada fakta obyektif dan penalaran yang jernih. Idola cava juga menjauhkan manusia dari kebenaran.
Yang ketiga adalah idola fori, yakni kebingungan yang diciptakan, karena orang tidak memahami makna bahasa yang digunakan dalam konteks komunikasi sehari-hari. Akibatnya orang terjebak di dalam kesalahpahaman. Bahasa memang menjadi elemen kunci di dalam komunikasi. Jika orang tidak mampu berbahasa ataupun memahami makna bahasa yang digunakan secara tepat, maka komunikasi untuk mencapai kesepakatan akan sulit tercipta. Kebenaran pun semakin jauh dari genggaman tangan.
Yang keempat adalah idola theatri, yakni bangunan pemikiran ataupun teori yang dibentuk oleh pendekatan yang tidak tepat. Misalnya orang memiliki keyakinan, bahwa semua pria suka berselingkuh. Keyakinan ataupun pemikiran semacam ini didasarkan pada pendekatan yang sifatnya satu arah, karena mengabaikan fakta, bahwa begitu banyak pria yang setia pada pasangannya. Idola theatri menghalangi manusia untuk sampai pada kebenaran.
Dengan penjabaran singkat mengenai rumusan idola di atas, tampaknya masyarakat –di luar penggemar Ariel cenderung mengamini jenis idola theatri. Bahwa kebanyakan dari mereka beranggapan kalau semua selebritis itu gaya hidupnya serupa dengan Ariel. Padahal tidak semuanya seperti itu, masih banyak selebritis yang punya kiprah positif. Ya, punya idola boleh-boleh saja, asalkan kita bisa lebih rasional menilainya bukan dengan asumsi atau berita yang belum tentu kebenarannya alias gosip.
salah satu penyebabnya adalah media terlalu banyak menulis berita keburukan artis, sementara artis2 yg prestasinya bagus minim pemberitaan.. akhirnya masyarakat cenderung mengeneralisir
BalasHapus