Minggu, 04 Juli 2010

Kisah Seorang Ayah yang Jaim


:: Riding Alone for thousand of miles.

Menghabiskan weekend dengan nonton bareng sungguh menyenangkan, meski via netbook yang ukurannya berkali lipat lebih kecil dari layar bioskop. Setelah sedikit diskusi akhirnya pilihan kami jatuh pada film besutan sutradara China Zhang Yimou bertajuk Riding Alone for thousand of miles.

Sajian yang termasuk film lama ini (2005) bertutur ihwal sosok ayah yang tak kuasa melampiaskan sisi kemanusian a.k.a emosionalnya, betapa ia teramat mencintai putranya dan penyesalan tidak bisa hidup ‘normal’ sebagaimana orangtua dan anak lainnya yang harmonis.

Adegan dibuka dengan narasi Takata, yang diperankan oleh Ken Takakura. Ia hidup sendirian di desa nelayan, Jepang setelah sang istri meninggalkan dia untuk selamanya puluhan tahun yang lalu. Kejadian dramatis itulah yang membuat Takata memilih tinggal sendiri dan pisah dengan putra semata wayangnya Kenichi. Sampai fragmen ini, penonton dibuat penasaran, gerangan apa yang membuat ayah dan anak berpisah.

Sampai suatu waktu Takata merasakan rindu yang teramat dalam pada Kenichi dan memutuskan bertemu Kenichi di Tokyo. Sampai di Tokyo, Takata bertemu Rie, istri Kenichi yang bercerita akhir-akhir ini sering mengeluh sakit tiap malam dan sekarang menjalankan pemeriksaan di Rumah Sakit. Karena luka masa lalu yang belum dipaparkan di awal, membuat Kenichi menolak permintaan Takata yang jaih-jauh datang ingin menemuinya.

Tak banyak kata, Takata berlari meninggalkan rumah sakit yang disusul oleh Rie seraya minta maaf atas sikap Kenichi yang belum bisa menerima kehadiran sang ayah. Rie juga memberikan rekaman video perjalanan Kenichi saat berkunjung ke Provinsi Yunnan, China. Sampai di rumah, Takata dengan takjub menyaksikan rekaman opera rakyat yang berjudul berjudul riding alone for thousand of miles. Sayangnya, Kenichi gagal untuk merekam seorang perfomer yang ia kagumi, Li Jiamin untuk menyanyikan opera tersebut.

Di waktu yang hamper bersamaan, Rie telah mendapatkan hasil pemeriksaan Kenichi yang ternyata didiagnosis menderita kanker hati dan sudah memasuki stadium. Seperti biasa Takata hanya diam tapi gurat sedih di wajahnya tak bisa menipu. Ia sangat ingin melakukan sesuatu yang berarti di akhir-akhir masa hidup Kenichi.

Dengan modal nekat Takata pergi sendiri ke Provinsi Yunnan untuk merekam performance Li Jiamin dengan harapan ia bisa menebus kesalahan masa lalu. Bisa ditebak, perjalanan tidak semulus yang dikira, kendala utama: bahasa memaksa Takata menyewa jasa penerjemah (Jasmine) bahasa China. Keadaan diperparah, saat ia sampai ke Desa Batu dan mendapati Li Jiamin sedang mendekam dalam tahanan karena perbuatan yang meresahkan masyarakat.

Saat penerjemah menyerah, Takata justru semakin bersemangat, ia mencari cara agar bisa bertemu Li di penjara. Menghubungi direktur tahanan dengan birokrasi yang tak mudah. Alih-alih izin sudah disepakati dan Takata akhirnya bertemu dengan Li, tidak membuat misi Takata berjalan mulus. Saat diperintah menyanyi oleh sipir penjara, Li yang sudah didandani kostum adat dan topeng justru diam tak bergeming. Ia menjawab sedang tak bisa menyanyi, karena rindu ingin bertemu putranya yang tinggal di Desa Batu.

Saya membayangkan Takata akan menyerah dan kembali ke Jepang, tapi yang terjadi sebaliknya, Takata –dengan dibantu warga desa Lingo- bertolak ke Desa Batu untuk mencari dan membawa putra Li bertemu ayahnya di tahanan. Kepala desa dan warga desa setempat memberi izin, Takata membawa Yang Yang. Tapi ditengah jalan, saat kendaraan yang ditarik traktor macet, Yang Yang justru melarikan diri. Takata yang sedikit paniK akhirnya menyusul dan mereka berdua kejar-kejaran sampai tersesat.
Suasana lereng bebatuan yang hening membuat jalinan hubungan Takata dan Yang Yang kian intim. Takata membayangkan ia tengah memeluk erat anaknya Kenichi melalui Yang Yang, pun dengan Yang Yang merasakan figur sang ayah yang belum pernah ditemui. Tampilan chemistry antara ayah dan anak begitu kuat tergambar dalam guyonan Takata dengan Yang Yang.

Riding Alone for Thousand of Miles, sebuah film yang menggambarkan perjalanan seorang ayah yang pernah berbuat kesalahan kepada anaknya, namun punya satu kesempatan untuk membayarnya demi sebuah kata maaf. Sang sutradara mengarahkan film apik dengan pendekatan realis sehingga membuat film ini begitu natural. Tahu kapan adegan dibuat tanpa kata dan saat Dialog pun terkesan sederhana. Sang pemeran utama, Takata berhasil membuat saya gemas karena terlihat jaim dan tak bisa menunjukkan emosinya. Seperti saat ia menyaksikan kerinduan Li yang begitu menggebu pada anaknya, Takata berguman, “andai saja aku bisa menumpahkan emosi, mungkin kejadiannya bisa lebih baik”

Belum lagi ditambah dengan akting dari pemeran pembantu yang berperan sebagai warga desa tempat anak li tinggal membuat film ini begitu riil, namun penuh dengan pesan-pesan kebaikan antara sesama manusia dan kedalaman emosi.

Geliat perjuangan takata untuk membayar kesalahannya, pasti membuat orang yang pernah menonton film ini terenyuh. Bayangkan dia harus melalui perjalanan sejauh ribuan mil, dari tempatnya tinggal ke Tokyo. Dari Tokyo ke Yunnan di China, berlanjut terus ke penjara tempat performer opera dipenjara. Kembali lagi ke Yunnan mencari anak Li, Yang Yang. Pencarian itu dilakukannya seorang diri dari Tokyo.

Takata mafhum benar bahwa Kenichi sakit hati padanya karena meninggalkan Kenichi saat Kenichi membutuhkannya. Takata benar-benar memanfaatkan kesempatan yang terakhir untuk membahagiakan anaknya-meski sang anak akhirnya pergi selamanya. Di sisi lain, ia merasa lega karena sudah mendapat kata maaf melalui surat yang dititipkan Rie sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir. Sebuah perjalanan yang terasa sangat sunyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar