Selain pasar tradisional, salah satu alternatif saya belanja kebutuhan sehari-hari macam stok makanan, sabun, detergen, kosmetik adalah ritel, baik kelas medium maupun hiper. Awalnya saya berpikir, jelas lebih murah daripada toko atau warung biasa. Berdasarkan perhitungan, ada banyak barang yang perbedaannya cukup signifikan, karena mayoritas harga peritel di bawah harga normal. Tentu mereka memakai standar harga yang bisa saya katakan ‘tanggung’, misalnya Rp. 3.475, Rp. 10. 025, bahkan ada yang di luar nominal rupiah misalnya Rp,20, 40, dll.
Bisa ditebak, dalam proses transaksi, banyak dari kasir peritel yang bingung karena jumlah total harga tidak bulat, otomatis kembaliannya pun tak tersedia. Tak ada pilihan lain akhirnya mereka mengganti dengan permen yang harganya sama. Pernah saya beli makanan di salah satu ritel yang tengah menjamur, satu keeping pun receh tak tersedia, bahkan Rp. 500 pun tak ada.
Sekali dua kali, oke kupikir maklum deh karena memang benar-benar tak ada kembalian, tapi kok lama-lama ngerasa seperti sengaja pakain kembalian permen. Bayangkan saja secara tak langsung mereka mengajak saya untuk turut membeli permen, padahal jelas-jelas saya sedang tak ingin makan permen. Ternyata lama-kelamaan, makin banyak konsumen yang merasakan hal sama dengan saya. Bahkan, di situs jejaring sosial Facebook ada group yang mengajak untuk menolak kembalian permen dengan anggota ratusan.
Sampai akhirnya protes masyarakat membuat telinga para pejabat berwenang seperti Departemen Perdagangan memerah, mereka pun lantas mengadakan pertemuan dengan asosiasi pengusaha ritel pada awal bulan ini. Dalam pertemuan yang diwakili oleh Direktur Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan Radu Malam Sembiring menegaskan bahwa aturan pengembalian dalam transaksi ritel tertuang jelas dalam UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia. Seperti yang dilansir sejumlah media UU BI sudah menetapkan, seberapa pun kecil nilai kembalian dalam setiap transaksi, tetap harus menggunakan alat pembayaran yang sah. Pihaknya pun masih memberikan waktu bagi peritel untuk membenahi, baru setelah itu akan melakukan tindakan tegas.
Dalam pertemuan antara pemerintah dan pengusaha itu juga dibahas cara mencari jalan keluar atas penggunaan permen sebagai uang kembalian. Salah satu opsi yang muncul ialah pembulatan ke bawah harga jual produk. Hanya saja kalau menurut saya, pasti berat jika para peritel membulatan harga ke bawah, karena jelas keuntungan tak sebanding jika mereka melakukan strategi harga tanggung –satu produk Rp 25 jika barang yang tejual jumlahnya ratusan tentu sudah bisa meraup keuntungan.
Disitulah, lagi-lagi menurut saya yang membuat peritel seperti menjerat konsumennya. Satu sisi keuntungan didapat dari penjualan, di sisi lain mereka juga mendapat nilai plus dari hasil’ penjualan’ permen yan berkedok kembalian.
Para pengusaha juga sempat mengeluhkan minimnya ketersediaan uang receh di bank-bank. Benarkah? Apakah sebagai lembaga perbankan sama sekali tak menyediakan uang receh sebagai alat tukar? Padahal beberapa tahun lalu peredaran uang receh di ritel masih cukup signifikan.
Solusi lain juga mengalir dalam pertemuan tersebut, misalnya para pengelola manajemen ritel juga harus bisa menghimpun uang receh sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Langkahnya dengan mengumumkan kepada masyarakat yang berbelanja bahwa tokonya menerima penukaran uang receh. Apakah mungkin ada ritel yang dengan legowo menerima uang receh dari masyarakat, saya yakin mereka akan berpikir ulang sebab akan membuat manajerial mereka berjalan stagnan.
Semanis Permen
Saya tidak mengeneralisir jika semua ritel melakukan aksi yang sama, seperti tidak memberikan kembalian dalam bentuk nominal uang. Ada juga lho beberapa ritel yang mempunyai strategi semanis permen
Misalnya saja, sudah beberapa bulan ini PT H dan P yang sudah memberlakukan program donasi. Yaitu mengajak para konsumen ritelnya mendonasikan uang kembalian pecahan (receh) mereka kepada yayasan sosial yang menjadi partner perusahaan mereka. Ada yang menawarkan terlebih dahulu pada konsumen apakah kembaliannya ingin disumbangkan ada pula yang memasang tulisan besar-besar di meja kasir untuk memberitahu.
Well, saya piker program ini sangat baik dan bisa dijadikan contoh bagi ritel yang lain. Konsumen dapat membantu saudara-saudara yang kurang beruntung dan mereka pun tidak perlu merasa risau karena uangnya akan teralokasikan secara tepat sasaran. Karena perusahaan punya tanggung jawab moral untuk mengupdate donasi secara regurel dengan mengumumkannya (transparansi). Baik pula jika sampai pada tahap membentuk tim khusus yang bertugas mensurvei, pada siapa donasi layak diberikan.
Adakah solusi lainnya……………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar