
Mengisi waktu sambil menunggu laga Uruguay vs Jerman, minggu dini hari lalu saya menonton film roman Bollywood bertajuk “My Name is Khan”. Yah bisa dibilang telat karena film ini sudah dirilis sejak Februari lalu. Akhirnya bisa nonton dengan ngopy dari teman without subtitle, hanya saat para tokoh menggunakan bahasa India ada teks Indonesianya.
Kisah dibuka dengan adegan penggeledahan tokoh utama Rizwan Khan yang diperankan apik oleh Shahrukh Khan. Khan yang mengidap autis jenis asperger’s syndrome ini digeledah karena cap teroris masih melekat. Tak hanya barang-barangnya tapi juga setiap inci tubuhnya tak lepas dari pemeriksaan.
Khan kecil, seorang anak muslim yang besar bersama sang adik, Zakir dan ibunya, di sebuah keluarga kelas menengah di Mumbai, India. Khan tak sama dari anak-anak lainnya, dan tidak seorang pun, termasuk ibunya, yang mengerti mengapa ia berbeda. Akan tetapi, Khan mendapatkan sebuah anugerah berupa kemampuan untuk memperbaiki barang-barang elektronik. Perbedaan Khan dengan anak-anak kebanyakan membuat ia mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus, sehingga timbul rasa iri Zakir dan memutuskan sekolah dan kerja di Amerika.
Beberapa tahun kemudian, meski masih tersisa rasa kesal, Zakir kemudian mendukung Khan untuk datang ke Amerika dan hidup bersamanya, setelah ibu mereka meninggal. Di Amerika, Khan kemudian bekerja sebagai sales obat-obatan herbal untuk Zakir. Saat menawarkan produk tersebutlah Khan bertemu dengan seorang perempuan Hindu bernama Mandira (Kajol) yang memiliki seorang anak bernama Sammer dari pernikahan sebelumnya.
Sampai di fragmen ini sang sutradara Karan Johar seperti tak kehilangan membuat adegan romantis pengidap autis dengan seorang perempuan. Segar, sederhana, mengalir dan to the point. Jangan harapkan ada moment romantis seperti kisah cinta Bollywood yang sudah-sudah, tak ada tekuk lutut seraya berkata “would you marry me”. Meski ditentang oleh sang adik karena perbedaan agama, tapi Khan justru didukung Hassena, adik iparnya. Melihat keseriusan Khan, Mandira tak ragu menikah dengan Khan dan melekatkan nama Khan pada dia dan putranya.
Menjalani kehidupan rumah tangga dengan latar belakang perbedaan agama tak membuat mereka saling memaksa ataupun mempengaruhi, sebaliknya kehidupan mereka berjalan haramonis, Sammer benar-benar menganggap Khan sebagai ayahnya meski secara agama berbeda. Mereka juga sukses mengembangkan bisnis salon dan memiliki tetangga ‘bule’ yang toleran.
Hingga kemudian pecahlah tragedi berdarah dan tak terlupakan pada tanggal 9 September, saat bom WTC terjadi dan ditengarai melibarkan orang Islam. Perlahan tapi pasti keadaan mulai berubah, warga Amerika yang beragama islam pun mendapat serangan, begitupula dengan Hassena (adik ipar Khan) yang memakai jilbab, dengan terpaksa melepas jilbabnya. Kejadian semakin buruk ketika Sammer meninggal, akibat kekerasan seniornyanya di sekolah. Ia mendapat pukulan bertubi-tubi, lantaran sammer dianggap beragama islam.
Mandira sangat terpukul, terlebih kasus kematian anaknya tidak diusut secara tuntas oleh polisi dengan kaerna tidak ada saksi dan bukti yang kuat. Sementara sahabat dekat Sammer secara terpaksa pasang aksi tutup mulut karena diancam seniornya. Hingga membuat Mandira shock dan berkata, ini semua kesalahan Khan, seandainya dia tidak menikah dengan Khan dan tidak menyandang nama Khan pastilah anaknya tidak mati dan kehidupannya akan berjalan baik baik saja.
Mandira pun mengusir Khan yang disusul pertanyaan Khan, “Mandira kapan saya boleh kembali mandira yang emosi menjawab: jika kamu bisa bertemu dengan presiden dan menyatakan “Saya Khan dan saya bukan teroris”, maka kamu boleh kembali!
Disinilah perjalanan dan petualangan Khan dimulai, ia pun pergi berkelana melewati berbagai negara bagian Amerika agar bisa bertemu Mr President untuk membuktikan pada Mandira bahwa ia bukan teroris. Perjalanan dengan kondisi Khan yang autis memang tak mudah, apalagi syndromnya pada warna kuning masih sering kambuh. Di tengah kegelisahan, Khan selalu menuliskan isi hatinya. Saat itulah yang mempertemukan Khan dengan keluarga Nyonya Jenny di Wihelmina. Kekeluargaan mereka sangat kental, meski Khan beragama muslim ia tetap disambut hangat dan diajak berdoa di gereja.
Sayang, karena keinginan Khan yang murni dan kuat, ia justru ditahan dan disiksa secara sadis karena dituduh sebagai teroris hanya karena ia berteriak-teriak “ my name is khan and l’m not a terrorist” di tengah kerumuman masa pemyambutan presiden. Beruntung, tak lama setelah itu ada reporter televise yang bersimpati atas kegigihannya membuktikan bahwa ia bukan teroris.
Film bermuatan pesan agama memang bukan genre baru di wajah perfilman, namun baru kali ini saya menemukan film yang sarat pesan moral dan agama melalui akting memukau Khan dan lawan mainnya Kajol. Berperan sebagai muslim taat sekaligus autis membuat film ini juga semakin kaya, karena merepresentasikan perjuangan pengidap autis agar bisa dianggap dan diterima selayaknya manusia yang lain, tak lebih, tak butuh pujian apalagi penghargaan hanya ingin dimengerti.
Cara pandang Khan dalam film ini pun tak rumit, ia tak paham mengapa sesama manusia bisa saling menghujat hanya lantaran label muslim yang melekat pada dirinya. Khan selalu terngiang pesan ibunya ketika ia kecil, bahwa Tuhan tak mengenal perbedaan manusia dari darah dan agama, melainkan hanya ada dua jenis manusia di bumi ini, baik dan buruk.
Kenangan itulah yang membuat Khan tak ragu menolong keluarga Nyonya Jenny saat ditimpa musibah badai yang memporakporandakan desa dan gereja. Khan tak menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini mendapat sorotan dari banyak pihak. Makin banyak umat islam yang mulai berani menunjukkan identitasnya, tidak sembunyi-sembunyi.
Secara tidak langsung film ini ingin mengajak penonton masuk dalam visualisasi dramatis pemerannya. Kadang penonton bisa jengkel saat melihat diskriminasi yang terjadi, tapi tak lama kemudian tersentuh oleh ‘kepolosan’ dan kehangatan Khan. Bisa dikatakan film ini merupakan paket komplit nilai-nilai humanis dan spiritual dan sama sekali tak ada kesan doktrinasi. Seolah ingin mengatakan bahwa beginilah sesungguhnya wajah Islam yang damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar