
Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah Pendidikan Luar Biasa (PLB) berganti nama menjadi pendidikan khusus, dengan alasan memperbaiki kualitas layanan PLB itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat tokh tidak juga berubah. Malah yang terjadi cenderung memarginalkan mereka yang disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
ABK adalah anak-anak yang untuk memperoleh perkembangan memerlukan penanganan khusus yang berkaitan dengan kekhususannya. Misalnya tidak bisa melihat, mendengar, berbicara, berjalan, kesulitan belajar, down syndrome, autis, keterlambatan bicara, cerebral palsy, gangguan perilaku (hiperaktif dan hipoaktif),dan lain-lain. Fenomena meningkatnya jumlah anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia dan para pemerhati masalah anak.
Kesulitan utama perbaikan penanganan anak-anak berkebutuhan khusus ini adalah mengenai Informasi dan kesulitan mendiagnosa para penderitanya. Agar lebih maksimal memang sebaiknya penanganan dilakukan sejak usia sangat dini, sayangnya kesalahan diagnosa sering justru menyebabkan anak-anak itu mengalami kemunduran. Contoh kesalaahan diagnosa banyak diceritakan dalam tulisan-tulisan para pemerhati masalah ini.
Selain itu contoh nyata lain yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap ABK atau ada pula yang menyebutnya dnegan Diffable. Bahkan tidak sedikit ditemukan orangtua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?
Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.
Menyedihkan sekali melihat masih banyak SLB yang tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini. Belum lagi munculnya sekolah inklusi yang tidak memenuhi standar pelayanan bagi ABK.
Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus baik di SLB maupun sekolah inklusi untuk mendorong mereka agar dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap kebutuhan, mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan meraka, termasuk meningkatkan kualitas para pengajarnya.
gambar diunduh dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar