
Wajar kalau sekarang, saya sampai pada kesimpulan, bahwa dunia maya lebih menarik dan mendapatkan tempat dibanding real life.
Ungkapan di atas bermula dari obrolan warung kopi sebanyak dua kali dengan kawan2 eks komunitas pers kampus LPM EKSPRESI, pertama di Mato dan yang kedua di Kedai Nusantara. Kawan Islah yang menjadi pemantik begitu bersemangat membicarakan pengalamannya di dunia maya. Simak keluhannya:
"Wah, aku bener2 dah ga bisa hidup tanpa akses ke dunia maya je, meski sekadar melihat-lihat, tidak selalu posting," ujarnya. Apalagi, tambahnya makin variatif saja ruang eksis di dunia maya, tak hanya jejaring sosial yang meliputi twitter dan facebook, tetapi juga nara blog, seperti dagdigdug, wordpress, blogspot, blogdetik, kompasiana, sampai model mini blog makro twitter, tumblr.Dalam hati saya berujar, "dasar generasi 2.0, bahkan ketika kopi darat pun tak seheboh obrolan via chat Yahoo Messengger.
Web 2.0, yang saya unduh dari situs wikipedia, adalah sebuah istilah yang dicetuskan pertama kali oleh pada tahun 2003, dan dipopulerkan pada konferensi web 2.0 pertama di tahun 2004, merujuk pada generasi yang dirasakan sebagai generasi kedua layanan berbasis web—seperti situs jejaring sosial, wiki, perangkat komunikasi, yang menekankan pada kolaborasi online dan berbagi antar pengguna.
Walaupun kelihatannya istilah ini menunjukkan versi baru daripada web, istilah ini tidak mengacu kepada pembaruan kepada spesifikasi teknis World Wide Web, tetapi lebih kepada bagaimana cara si-pengembang sistem di dalam menggunakan platform web. Mengacu pada Tim Oreilly, istilah Web 2.0 didefinisikan sebagai berikut:
"Web 2.0 adalah sebuah revolusi bisnis di dalam industri komputer yang terjadi akibat pergerakan ke internet sebagai platform, dan suatu usaha untuk mengerti aturan-aturan agar sukses di platform tersebut. ”
Otomatis, skill komunikasi yang kita miliki yang biasanya berlaku di dunia nyata kini makin beragam dan rumit karena sekilas kita berhadapan hanya dengan layar pc, laptop atau hp. Bayangkan saja, yang biasanya kita ngobrol secara verbal, kini kita jadi rajin menarikan jari ke tuts. Menurut saya jauh lebih sulit, karena berkomunikasi lewat tulisa, selain harus bisa menyajikan pikiran via bahasa tulisan yang tentunya bisa dipahami pembaca, kita juga mesti bisa mengerti apa yang tersirat dari sebuah tulisan, misalnya emosi dan karakter khas dari sebuah tulisan.
Jadi wajar kita temui orang yang berbeda antara di dunia maya dan di dunia nyata. Apalagi jika menyangkut netiket (yang belum luas diketahui orang seperti halnya etika pergaulan di dunia nyata) dan pengendalian diri. Apalagi kultur masyarakat kita yang cenderung lebih banyak bicara daripada budaya menulis.
Ok, kini di sekitar kita telah banyak user yang gape menulis, sampai ke ranah personal seperti nge-tweet dan update status, yang mayoritas isinya curahan hati dan sejenisnya. Saking familiarnya, bahkan sampai sebelah2an pun asyik ngobrol...ya mereka atau kita asyik ngobrol dengan partner di dunia maya tetapi melalui chat room. Oalah, kesimpulan saya di kalimat paling atas benar2 beralasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar