Minggu, 26 Juni 2011

50: untuk bapak

50, bukan angka yang sedikit untuk mengelak dari sebuah perjalanan hidup yang penuh kerikil ataupun mulus-mulus saja tanpa polisi tidur.

50, bisa jadi penanda sebuah awal babak kehidupan yang baru, di mana fase 'suka-suka' telah ditinggalkan berganti dengan fase yang bisa dibilang penuh tantangan, sampai-sampai pernah mendengar idiom bahwa "life begin 50".

Ya, seorang yang saya sebut bapak, bukan ayah ataupun papa, tepat hari ini genap berusia 50 tahun. Tak ada kado special dari anak sulungnya ini, hanya secarik tulisan yang khusus saya persembahkan buat seorang tak bisa saya pungkiri mengajarkan saya banyak hal, tentang hidup dan kehidupan.

Sebagai awal, jujur saya akui bahwa sejak kecil saya tak begitu memahami ataupun mengenal siapa sejatinya sosok yang kupanggi bapak. Entah mengapa, saya lebih dekat dengan ibu, merasa nyaman jika berbagi dengan ibu, rasanya hanya ingin dimengerti dan senang ketika keluh kesah saya didengarkan olehnya. Kalau sama bapak, yang ada di benak ini hanya rasa takut atau segan yang teramat sangat. Boro-boro mau cerita masalah pribadi, untuk urusan yang sifatnya keseharian atau sederhana pun saya enggan.

Bapak, dalam pandangan saya saat itu, adalah sosok yang asing. Bayangkan saya jarang bersua dengannya cukup lama. Bapak kerja seharian, pagi berangkat, saya sekolah, malam pulan seringnya saya dah tertidur atau bersiap tidur. Belum lagi hari libur pun kami jarang ngobrol sekadar menceritakan urusan sekolah. Semua berlalu seperti formalitas saja, paling2 bapak hanya banyak bicara jika menyangkut urusan yang penting dan bapak harus ambil keputusan.

Seperti ketika menyangkut urusan berkawan dengan lawan jenis, bapak memiliki sikap over protektif, padahal saya dah SMU, kata orang masa-masa indah mengenal lawan jenis. Tapi hal itu tidak berlaku buat bapak, bahkan bapak sering bilang kalau mau pacaran nanti kalau sudah lulus kuliah. Hmm... dasar anak muda, tetap aja saya saya bisa backstreet pacaran tanpa ketahuan.

Sekali lagi, jujur, hubungan saya dengan bapak, terutama di masa masih menggunakan seragam putih biru tidaklah bisa dibilang harmonis -menurut versi saya- sering sekali kami berselisih paham yang ujung2nya malah berantem, apalagi saya cenderung keras kepala dan ngeyel hingga membuat bapak sering marah.Kalau sudah begitu tak ayal saya pun menangis dan merasa sebal dengan bapak.

Sampai-sampai kalau menonton sinetron Putri yang Ditukar dan melihat kedekatan tokoh utamanya, ayah dan anak perempuannya seringkali timbul pertanyaan dalam hati saya. Kenapa sih hubungan kami tidak semanis sinetron itu. Bayangan-bayangan hubungan saya yang tidak indah dengan bapak tiba-tiba menyeruak.

Tapi itu tidak berlangsung berlarut-larut, saat saya mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri, saya benar-benar baru merasakan kehangatan seorang bapak. Saat itu bapak mengantarkan saya ke lokasi ujian di Jakarta, karena saya masih hijau berpergian ke Jakarta. Bapak tak hanya mengantar saya ke depan gerbang sekolah, tapi sampai kursi dimana saya akan mengerjakan soal.

Bayangkan saya yang sudah segede itu, lulus SMU masih diantar bapaknya, dan bapak baru pulang saat pengawas hendak masuk. Rasanya tidak berlebihan jika saya menganggap memori itu yang memberi support pada saya dan mengantarkan saya ke tanah Jogja, tempat saya menimba ilmu di bangku kuliah.

Berpisah dengan keluarga, tentu tak ada dalam bayangan saya. Tapi apa lacur saya sudah memtuskan untuk melanjutkan studi di luar kota. Gak tau kenapa saya kok merasa lega ya waktu itu, jauhan sama bapak, artinya saya akan terhindar dari omelan dan tentu saja pengawasan bapak yang super ketat ihwal pergaulan.

Anehnya, ketika kami pisah, saya merasa ada yang hilang karena tak ada yang sering ngomel atau menegur. Kala liburan yang ada saya justru bercerita tentang pengalaman baru kuliah di Jogja dan bapak banyak mendengarkan serta memberikan saya suggest untuk belajar dan berorganisasi lebih baik lagi. Bapak juga yang memberikan saya hp pertama waktu hp masih dianggap barang sekunder dan bentuknya belum macam-macam. Bukan soal barangnya yang membuat saya bahagia, tapi perhatian bapak yang membuat saya surprise.

Pun ketika saya ditimpa masalah besar di kampus, bapak dengan pemikiran rasionalnya banyak memberikan saya fight untuk bangkit dan tidak lekas putus asa, sms-sms yang menguatkan. Sejak kami berjauhanlah, komunikasi kami via sms makin intens dan membuat saya nyaman untuk bisa berkomunikasi dengan bapak.

Rasa nyaman itu juga tak berhenti saat kuliah, tapi juga berlanjut saat saya memtuskan melanjutkan hidup dan bekerja di jogja. Bapak banyak memberi saya masukan-masukan berarti bagaimana menghadapi warna-warni dunia kerja yang jauh berbeda dengan masa kuliah. Bapak juga tak pernah memaksakan keinginannya agar saya menjadi apa yang diinginkan. Bapak memberikan saya kesempatan dan kepercayaan untuk memtuskan yang terbaik menyangkut pekerjaan dan tentu saja minat saya belakangan ini, tak lupa juga memilih pasangan untuk menapaki kehidupan.

Teruntuk bapak tersayang, mohon maaf jika putrimu ini meyinggung perasaanmu karena tulisan ini. Sungguh tiada maksud untuk seperti itu, ananda hanya menuliskan perasaan ini pada bapak.

Sekali selamat ulang tahun, bapak. Pelajaran berharga darimu tentang bagaimana kita harus fight menghadapi hidup akan terus membekas dalam hati ini. Terima kasih, pak.



Gambar ini waktu bapak menikahkan saya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar