Rabu, 16 Oktober 2013

Perempuan Sonder Kekerasan


Bicara kekerasan tentu tidak terlepas dari perempuan yang selama ini menjadi korban baik secara fisik maupun psikologis dalam bentuk verbal dan non verbal Permasalahannya kemudian, banyak perempuan yang secara tidak sadar sudah menjadi korban, lantas menganggap itu sebagai sebuah kelaziman yang dianggap wajar oleh sebagian masyarakat khususnya sesama perempuan.

Tindak kekerasan tidak hanya terjadi dalam ranah publik dalam skala besar, tetapi di kalangan akademisi khususnya mereka (baca mahasiswi) yang punya banyak julukan dari mulai kritis sampai agen of change juga belum sepenuhnya peka gender apalagi untuk mewujudkannya dalam bentuk komitmen.

Kasus sederhana adanya bias gender di kampus adalah masalah kekerasan terhadap perempuan. Makna kekerasan menurut aktivis gender Nunuk  P Murniati dalam bukunya yang berjudul Getar Gender (2000) adalah perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antar manusia, baik individu maupun kelompok, yang dirasa oleh salah satu pihak sebagai situasi yang membebani, membuat berat, tidak menyenangkan, dan tidak bebas.

Kekerasan terhadap perempuan tentu tidak terjadi begitu saja, ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Misalnya, budaya patriarkhi. Paradigma patriarki, semula dikenalkan oleh Sosiolog Max Weber yang mengacu pada pada bentukan sosial dan politik yang mengagungkan peran dominan ayah, keluarga inti, luas dan publik. Patriarki merupakan sebuah paradigma yang menganggap laki-laki lebih superior daripada perempuan  

Demikian halnya di lingkungan kampus yang notabene sarat dengan iklim diskusi pada kesehariannya tetapi untuk kasus-kasus yang menimpa perempuan tak ubahnya seperti fenomena gunung es. Muncul di permukaan sedikit akan tetapi ternyata banyak kasus yang tidak selesai dan belum banyak dari kalangan kampus termasuk mahasiswa berusaha untuk menguak tabir hitam tersebut.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di kampus seperti, Pertama kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan seks atas dirinya. Misalnya, dalam berpacaran yang dilakukan pada mahasiswa. Terkadang untuk membuktikan cinta mengajak perempuan berhubungan seks yang tidak dikehendaki oleh perempuan, melakukan kontak fisik di depan umum, dan setelah tidak ada ada kecocokan lagi perempuan ditinggalkan serta dengan bangganya menceritakan aktivitas seksual mereka pada orang lain. Jelas, dalam hal ini perempuan dalm posisi dirugikan, Kedua, Kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan dan kekuatan fisik laki-laki. Misalnya pemukulan, penganiyaan, penyekapan, penculikan bahkan sampai pembunuhan. 


Seperti belum lama terjadi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta, seorang mahasiswi dibunuh dan sebelumnya mendapat perlakukan yang tidak mengenakan dari seorang petugas keamanan. Ironisnya,  kasus itu hanya membuat boom sejenak dan tidak lama kemudian di peti es-kan, Ketiga kekerasan terhadap perempuan karena kekuasaan psikologis dan emosional. Misalnya sikap melindungi yang berlebih-lebihan sehingga dirasakan korban sebagai kekangan sehingga tidak dapat mandiri, penghinaan, olok-olok terhadap kemampuan perempuan, menyalahartikan kemampuan perempuan, intimidasi, mempermalukan perempuan pada waktu mereka menyampaikan ide atau pendapat dalam proses belajar mengajar maupun di organisasi kemahasiswaan. Lebih jelasnya pada waktu Kuliah Kerja Nyata (KKN)  atau di beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa mayoritas yang menjadi ketua adalah laki-laki. Hal tersebut didasari oleh anggapan laki-laki lebih mampu memimpin ketimbang perempuan. Meskipun pada kenyataannya banyak  hal di luar struktural perempuan lebih banyak berperan.

Deskripsi  di atas tidak semata-mata memberikan judgement pada kaum laki-laki tetapi lebih pada pemaparan realita yang banyak diterima oleh perempuan selama ini. Sudah saatnya mahasiswi melakukan konsolidasi di wilayah kampus, bukan untuk menyerang, melainkan memberikan solusi yang tidak merugikan bagi siapa pun. Bentuknya bisa melalui advokasi, sharing power, dan tentunya personal approach pada semua pihak baik birokrat kampus maupun mahasiswa. Nantinya akan tecipta gender yang equal dan setara dalam perspektif masing-masing sebab kebutuhan perlindungan dari setiap perempuan pun pasti beragam.

Selain itu, mulailah menciptakan lingkaran kepercayaan terhadap sesama perempuan dan menciptakan gerakan wawasan gender sehinggan lahir sebuah komitmen penyadaran gender di kampus. Media yang efektif adalah dengan mengadakan diskusi yang sifatnya terbuka dan santai sehingga mempuat peserta merasa nyaman untuk menceritakan kondisinya dan bersama-sama mencari jalan keluar. Sebab kenyataannya setiap ada diskusi bertema gender dan perempuan belum mampu menarik perhatian.

Masalah kekerasan tidak terlepas dari kekuasaan. Untuk mengatasinya, dibutuhkan keberanian melakukan aksi dan semangat perlawanan. Pada intinya, berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan dikarenakan persoalan ketidakadilan gender yang mencerminkan sikap ketidakdewasaan manusia dan ketidaksiapan hidup berdemokrasi.

Sederhana memang, bukankah segala sesuatu tercipta dari hal yang dianggap remeh temeh, jika kita tidak pernah memulainya bagaimana bisa mewujudkan pembebasan perempuan dari kekerasan. Pernahkah kita berpikir akan ada masa dimana perempuan sudah muak dengan apa yang namanya kekerasan, akankah ada masa budaya pascapatriarki tercipta jika kita hanya berpikir atas diri kita sendiri?

Jawaban itu tidak ditunggu, karena ia lebih memerlukan dukungan dari seluruh masyarakat termasuk didalamnya mahasiswa dalam berbagai bentuk aksi perjuangan anti kekerasan dan sarat perdamaian. Dengan langkah awal penyadaran pada diri sendiri sudah merupakan pintu masuk untuk kemudian menjalin komitmen penyetaraan gender yang tegas, kritis dan berparadigma inklusif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar