Bicara
kekerasan tentu tidak terlepas dari perempuan yang selama ini menjadi korban
baik secara fisik maupun psikologis dalam bentuk verbal dan non verbal
Permasalahannya kemudian, banyak perempuan yang secara tidak sadar sudah menjadi
korban, lantas menganggap itu sebagai sebuah kelaziman yang dianggap wajar oleh
sebagian masyarakat khususnya sesama perempuan.
Tindak
kekerasan tidak hanya terjadi dalam ranah publik dalam skala besar, tetapi di
kalangan akademisi khususnya mereka (baca mahasiswi) yang punya banyak julukan
dari mulai kritis sampai agen of change
juga belum sepenuhnya peka gender apalagi untuk mewujudkannya dalam bentuk
komitmen.
Kasus
sederhana adanya bias gender di kampus adalah masalah kekerasan terhadap perempuan.
Makna kekerasan menurut aktivis gender Nunuk
P Murniati dalam bukunya yang berjudul Getar Gender (2000) adalah
perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antar manusia, baik individu
maupun kelompok, yang dirasa oleh salah satu pihak sebagai situasi yang
membebani, membuat berat, tidak menyenangkan, dan tidak bebas.
Kekerasan
terhadap perempuan tentu tidak terjadi begitu saja, ada banyak faktor yang
mempengaruhinya. Misalnya, budaya patriarkhi. Paradigma patriarki, semula
dikenalkan oleh Sosiolog Max Weber yang mengacu pada pada bentukan sosial dan
politik yang mengagungkan peran dominan ayah, keluarga inti, luas dan publik.
Patriarki merupakan sebuah paradigma yang menganggap laki-laki lebih superior
daripada perempuan
Demikian
halnya di lingkungan kampus yang notabene sarat dengan iklim diskusi pada
kesehariannya tetapi untuk kasus-kasus yang menimpa perempuan tak ubahnya
seperti fenomena gunung es. Muncul di permukaan sedikit akan tetapi ternyata
banyak kasus yang tidak selesai dan belum banyak dari kalangan kampus termasuk
mahasiswa berusaha untuk menguak tabir hitam tersebut.
Seperti belum lama terjadi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta,
seorang mahasiswi dibunuh dan sebelumnya mendapat perlakukan yang tidak
mengenakan dari seorang petugas keamanan. Ironisnya, kasus itu hanya membuat boom sejenak dan tidak lama kemudian di peti es-kan, Ketiga kekerasan terhadap perempuan
karena kekuasaan psikologis dan emosional. Misalnya sikap melindungi yang
berlebih-lebihan sehingga dirasakan korban sebagai kekangan sehingga tidak
dapat mandiri, penghinaan, olok-olok terhadap kemampuan perempuan,
menyalahartikan kemampuan perempuan, intimidasi, mempermalukan perempuan pada
waktu mereka menyampaikan ide atau pendapat dalam proses belajar mengajar
maupun di organisasi kemahasiswaan. Lebih jelasnya pada waktu Kuliah Kerja
Nyata (KKN) atau di beberapa Unit
Kegiatan Mahasiswa mayoritas yang menjadi ketua adalah laki-laki. Hal tersebut
didasari oleh anggapan laki-laki lebih mampu memimpin ketimbang perempuan.
Meskipun pada kenyataannya banyak hal di
luar struktural perempuan lebih banyak berperan.
Deskripsi
di atas tidak semata-mata memberikan judgement pada kaum laki-laki tetapi
lebih pada pemaparan realita yang banyak diterima oleh perempuan selama ini.
Sudah saatnya mahasiswi melakukan konsolidasi di wilayah kampus, bukan untuk
menyerang, melainkan memberikan solusi yang tidak merugikan bagi siapa pun. Bentuknya
bisa melalui advokasi, sharing power,
dan tentunya personal approach pada
semua pihak baik birokrat kampus maupun mahasiswa. Nantinya akan tecipta gender yang equal dan setara dalam perspektif masing-masing sebab kebutuhan
perlindungan dari setiap perempuan pun pasti beragam.
Selain itu, mulailah menciptakan lingkaran kepercayaan terhadap sesama perempuan dan menciptakan gerakan wawasan gender sehinggan lahir sebuah komitmen penyadaran gender di kampus. Media yang efektif adalah dengan mengadakan diskusi yang sifatnya terbuka dan santai sehingga mempuat peserta merasa nyaman untuk menceritakan kondisinya dan bersama-sama mencari jalan keluar. Sebab kenyataannya setiap ada diskusi bertema gender dan perempuan belum mampu menarik perhatian.
Masalah
kekerasan tidak terlepas dari kekuasaan. Untuk mengatasinya, dibutuhkan
keberanian melakukan aksi dan semangat perlawanan. Pada intinya, berbagai
tindak kekerasan terhadap perempuan dikarenakan persoalan ketidakadilan gender
yang mencerminkan sikap ketidakdewasaan manusia dan ketidaksiapan hidup
berdemokrasi.
Sederhana
memang, bukankah segala sesuatu tercipta dari hal yang dianggap remeh temeh,
jika kita tidak pernah memulainya bagaimana bisa mewujudkan pembebasan
perempuan dari kekerasan. Pernahkah kita berpikir akan ada masa dimana
perempuan sudah muak dengan apa yang namanya kekerasan, akankah ada masa budaya
pascapatriarki tercipta jika kita hanya berpikir atas diri kita sendiri?
Jawaban
itu tidak ditunggu, karena ia lebih memerlukan dukungan dari seluruh masyarakat
termasuk didalamnya mahasiswa dalam berbagai bentuk aksi perjuangan anti
kekerasan dan sarat perdamaian. Dengan langkah awal penyadaran pada diri
sendiri sudah merupakan pintu masuk untuk kemudian menjalin komitmen
penyetaraan gender yang tegas, kritis dan berparadigma inklusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar