Senin, 06 Juni 2016

Ketika Cantik Bukan Lagi Mitos



Siapa sebenarnya yang disebut perempuan cantik?
Dia yang memiliki kulit kuning kemilau gadis-gadis di film-film drama romantis Korea? Atau gadis-gadis Eropa yang bermata bulat warna biru?
Atau mungkin yang semampai beralis tebal, berhidung tinggi, serta memiliki rambut ikal menjuntai khas gadis Turki, yang juga sedang marak di layar gelas?  Cek saja ada Cinta Elif, ada Antara Nur dan Dia. Atau ada yang lain?
Ah tetiba ingat seorang rayuan abang penjual baju di lantai bawah Kalibata City, waktu saya fittingjaket, dia bilang “Cocok mba, seperti gadis Turki.”
What? seketika saya ngakak dan untung tidak GR.
Satu lagi taktik marketing, bahwa sebagian besar perempuan senang dipuji, maka cara merayu mereka adalah dengan pujian. Setelah jadi komoditi iklan, film, dan sinetron, cantik bisa jadi komoditas buat para pedagang meraup untung. Terlepas bahwa cantik itu subjektif bagi mereka:Kamu cantik dengan produk saya.
Bergeser sejenak ke masa  lalu, rasanya saya masih ingat betul bahwa dalam teks book pelajaran Bahasa Indonesia era tahun 90-an, perempuan cantik adalah yang berambut mayang terurai, berbibir merah bak delima, kulit bak langsat, betis bak bulir padi.
Jujur nalar saya waktu itu membayangkan bahwa perempuan cantik ya seperti itu apalagi divisualisasikan lebih nyata dengan mainan boneka barbie dan bongkar pasang yang juga menggambarkan perempuan cantik lengkap dengan baju-baju pestanya.

Setelah melampaui mitos kecantikan, perempuan tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Perempuan “cantik” tidak menang di atas mitos kecantikan” (Naomi Wolf).
Jika benar kata Tante Naomi, cantik itu mitos maka kemunculan kontrol sosial bernama cantik itu semakin lekat dengan keseharian kita. Benar bahwa era sekarang perempuan berdandan dan cantik tak lagi untuk orang lain tapi pencapaian diri sendiri, hak diri atas wajah, atas tubuh yang paling nyaman dengan kita. Sayangnya sebuah obsesi tentang kecantikan fisik memenjarakan perempuan modern dalam lingkaran harapan.
Yup, harapan perempuan yang lelah dan putus asa mengisi definisi masyarakat tentang kecantikan sempurna namun tak mungkin diwujudkan. Tapi seiring produk kecantikan luar negeri yang dengan lenggangnya masuk ke Indonesia, salah satunya lewat daring, seolah memberikan oase baru bagi perempuan Indonesia. Bagaimana tidak? Lisptik matte merek Y*L, N*X,  katakanlah hanya merogoh kocek dari separuh lebih harga produk originalnya, perempuan sudah bisa pamer senyum dengan lipstik matte.
Hai, ini loh merek Y*L lalu diunggah di media sosial, bertabur komen, bikin envy yang baca, pengen ikut beli juga pengen terlihat sensual juga bibirnya, dilirik para penjual, tak lama kemudian berjamur jualan lipstik. Bahkan tak usah jauh-jauh deh lipstik lokal yang namanya sempat terselamurkan produk dengan brand besar pun mulai diminati perempuan. Karena apa? Karena diunggah dan yang lihat jadi pengen punya. Inikah cantik berjamaah?
Duh aku lagi gak punya uang nih buat beli lipstik. Tenang, bisa PO sist, eaaa… siapa juga yang tak tergoda. Modalnya tambah satu lagi seperti yang saya bilang di atas: Pandai merayu. “Sist cantik deh kalau pakai lipstik no 82, makin terlihat berisi bibirnya, nanti tambah disayang suami loh.”
Taraaa… gak ambil pertimbangan sana-sini langsung booked!
Begitulah, cantik semakin ‘murah’. Bisa dicicil, bisa PO, mau cari merek apa saja ada, lipsttik matte atau glossy, olesan alis agar hitam melengkung, krim yang bikin hidung tampak mancung. Aw aw, gak perlu muter-muter pusat perbelanjaan, hanya dengan kartu tipis bisa kita dapatkan.
Bayangkan, perempuan rela berlama-lama di salon demi mendapatkan kecantikan yang telah bergeser, jika dulu perempuan harus menabung, harus mengeluarkan ratusan bahkan jutaan rupiah demi kecantikan ala media, kini hal itu makin jarang kita lihat. Betapa pasar telah berhasil memanjakan para perempuan untuk semakin mudah mengakses kecantikan.
Yah meski kalau dipikir-pikir buat apa sih ngolesin krim alis kan nanti dihapus lagi. Begitu seterusnya. Perempuan masih jadi objek, objek ‘dagang’ mereka yang kreatif menjadikan peluang ini berbuah keuntungan. Begitulah, ketika kecantikan hanya dipandang dari polesan maka tak akan ada habisnya, semua produk baru akan selalu terlihat menarik.
Perempuan, termasuk saya lupa jika cantik terlepas dari mitos adalah sesuatu yang tak kasat oleh mata, yang mungkin klise, standar banget dan gak kekinian. Jadi jangan GR dulu jika dibilang cantik seperti gadis Turki.
Cantik itu kamu, cantik itu kita. Jadi bagaimana cantik menurutmu?
Foto: Netizen.pos
Tulisan ini pernah dimuat di: Ketika Cantik Bukan Lagi Mitos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar