Setelah menikmati betul libur lebaran yang hanya seminggu, akhirnya saya kembali bergulat dalam rutinitas keseharian. Momen lebaran yang penuh pernak-pernik perayaan hanya sekejap dirasakan, tapi menyisakan kesan tersendiri buatku. Terlepas dari liburan tentunya, karena saya juga tidak setuju kalau libur lebaran lebih diutamakan untuk wisata.
Memang sih, h+3 lebaran saya sempat mampir ke mantan keajaiban dunia Candi Borobudur, tapi bukan untuk rekreasi melainkan kerja! Yup saya harus hunting info wisata lebaran untuk majalah.
Lebaran kali ini, seperti biasa tidak mudik ke Kota Seribu Pabrik alias Kota Tangerang, karena semua keluarga besar kumpul tempat nenek dari bapak di Muntilan. So, keluarga saya pun tak terkecuali bertandang ke Muntilan. Tradisi tersebut sudah bertahun-tahun menyemarakkan lebaran di keluarga saya. Sampai saat ini meski Nenek Buyut dan Kakek saya telah berpulang. Sementara kampung halaman Ibu saya juga hanya berbeda desa dengan bapak saya.(Pek Nggo gitu).
Ada saja acara-acara yang diselipkan untuk menyambut hari kemenangan. Mulai menyalakan petasan dan kembang api dari yang muda sampai tua dan beres-beres rumah. Memasak panganan lebaran seperti tape ketan khas Muntilan, untok2 cacing, bakpia, peyek, kue seledri, dan kerasikan. Sementara ketupat plus sayur krecek kaprinya juga ikut melengkapi makanan lebaran. Belum lagi ditambah daging entog, mangut lele dan sambal goreng kentang telur. Wah, semua makanan itu langsung diserbu pascasholat Ied dan berkunjung ke makam.
Setelah itu baru deh, sungkeman lebaran secara berurutan mulai dari Nenek saya, anak pertama sampai terakhir tujuh bersaudara plus menantu dan anak-anak mereka yang turut meramaikan acara sunkeman. Sugeng riyadi, sedaya kalepatan kula nyuwun pangapunten (Selamat lebaran, mohon maaf atas kesalahan saya). Itulah kata-kata yang kerap diucapkan setiap Idul Fitri. Kemudian nenek, pakdhe, budhe, paklik, bulik semua satu per satu baru menjawab: “Ya padha-phadha Le, sing tuwa akeh dosane, moga-moga dilancarke rejekine....” (ya sama-sama, Nak yang tua banyak salahnya semoga dilancarkan rejekimu …). Tak jarang isak tangis dan dan haru mewarnai ritual tersebut.
Nah, acara yang ditunggu-tunggu adalah pembagian angpao, tapi karena saya sudah lulus kuliah jadi ga kebagian deh. Beruntung ada om saya yang punya aide untuk sebar uang dan siapapun berhak mengikutinya. Ada-ada saja, tapi tetap saja saya kalah dibandingkan sepupu-sepupu saya yang lebih gesit.
Acara yang tak kalah melelahkan ialah saat harus ujung (bertamu) ke trah keluarga besar baik dari Bapak maupun ibu. Keliling dari satu rumah ke rumah lain sampai saya tidak bisa menghitung berapa jumlahnya. Belum lagi di setiap rumah pasti disuruh makan, dan empunya rumah selalu memaksa dengan mengatakan halah setahun sekali ini. Masing-masing rumah punya panganan dan lauk khas yang membuat saya selalu ingin mencicipinya. Ada yang punya ting-ting jahe buatan sendiri, getas, selai pisang, wedang tape ketan, manis kolang-kaling, opor bebek plus entog, kering tempe, gurameh mangut, telur asin, pecel, nastar, pisang keju dan masih banyak lagi yang semuanya buatan mereka sendiri.
Makna ujung sendiri adalah ekspresi kultural yang luar biasa yakni mengingat dan mempererat persaudaraan. Begitu pun sungkem mempunyai esensi transendental maupun sosial. Setelah sebulan berpuasa, Tuhan mengampuni dosa-dosa yang dilakukan manusia terhadap Sang Pencipta. Namun, manusia baru kembali ke fitrahnya jika mereka bersedia saling memaafkan kesalahan sesamanya. Ritual sungkem ini bisa menjadi sebuah alat perekat sosial, selain memiliki makna ibadah.
Yah, begitulah sekilas euphoria lebaran di kampong halaman saya. Semoga menghadirkan makna khusus bagi para pemudik yang sekarang sudah kembali ke perantauan masing-masing. Minal Aidin Wal Faidzin, Maaf Lahir Batin. Selamat Idul Fitri 1429 H. (*)
Memang sih, h+3 lebaran saya sempat mampir ke mantan keajaiban dunia Candi Borobudur, tapi bukan untuk rekreasi melainkan kerja! Yup saya harus hunting info wisata lebaran untuk majalah.
Lebaran kali ini, seperti biasa tidak mudik ke Kota Seribu Pabrik alias Kota Tangerang, karena semua keluarga besar kumpul tempat nenek dari bapak di Muntilan. So, keluarga saya pun tak terkecuali bertandang ke Muntilan. Tradisi tersebut sudah bertahun-tahun menyemarakkan lebaran di keluarga saya. Sampai saat ini meski Nenek Buyut dan Kakek saya telah berpulang. Sementara kampung halaman Ibu saya juga hanya berbeda desa dengan bapak saya.(Pek Nggo gitu).
Ada saja acara-acara yang diselipkan untuk menyambut hari kemenangan. Mulai menyalakan petasan dan kembang api dari yang muda sampai tua dan beres-beres rumah. Memasak panganan lebaran seperti tape ketan khas Muntilan, untok2 cacing, bakpia, peyek, kue seledri, dan kerasikan. Sementara ketupat plus sayur krecek kaprinya juga ikut melengkapi makanan lebaran. Belum lagi ditambah daging entog, mangut lele dan sambal goreng kentang telur. Wah, semua makanan itu langsung diserbu pascasholat Ied dan berkunjung ke makam.
Setelah itu baru deh, sungkeman lebaran secara berurutan mulai dari Nenek saya, anak pertama sampai terakhir tujuh bersaudara plus menantu dan anak-anak mereka yang turut meramaikan acara sunkeman. Sugeng riyadi, sedaya kalepatan kula nyuwun pangapunten (Selamat lebaran, mohon maaf atas kesalahan saya). Itulah kata-kata yang kerap diucapkan setiap Idul Fitri. Kemudian nenek, pakdhe, budhe, paklik, bulik semua satu per satu baru menjawab: “Ya padha-phadha Le, sing tuwa akeh dosane, moga-moga dilancarke rejekine....” (ya sama-sama, Nak yang tua banyak salahnya semoga dilancarkan rejekimu …). Tak jarang isak tangis dan dan haru mewarnai ritual tersebut.
Nah, acara yang ditunggu-tunggu adalah pembagian angpao, tapi karena saya sudah lulus kuliah jadi ga kebagian deh. Beruntung ada om saya yang punya aide untuk sebar uang dan siapapun berhak mengikutinya. Ada-ada saja, tapi tetap saja saya kalah dibandingkan sepupu-sepupu saya yang lebih gesit.
Acara yang tak kalah melelahkan ialah saat harus ujung (bertamu) ke trah keluarga besar baik dari Bapak maupun ibu. Keliling dari satu rumah ke rumah lain sampai saya tidak bisa menghitung berapa jumlahnya. Belum lagi di setiap rumah pasti disuruh makan, dan empunya rumah selalu memaksa dengan mengatakan halah setahun sekali ini. Masing-masing rumah punya panganan dan lauk khas yang membuat saya selalu ingin mencicipinya. Ada yang punya ting-ting jahe buatan sendiri, getas, selai pisang, wedang tape ketan, manis kolang-kaling, opor bebek plus entog, kering tempe, gurameh mangut, telur asin, pecel, nastar, pisang keju dan masih banyak lagi yang semuanya buatan mereka sendiri.
Makna ujung sendiri adalah ekspresi kultural yang luar biasa yakni mengingat dan mempererat persaudaraan. Begitu pun sungkem mempunyai esensi transendental maupun sosial. Setelah sebulan berpuasa, Tuhan mengampuni dosa-dosa yang dilakukan manusia terhadap Sang Pencipta. Namun, manusia baru kembali ke fitrahnya jika mereka bersedia saling memaafkan kesalahan sesamanya. Ritual sungkem ini bisa menjadi sebuah alat perekat sosial, selain memiliki makna ibadah.
Yah, begitulah sekilas euphoria lebaran di kampong halaman saya. Semoga menghadirkan makna khusus bagi para pemudik yang sekarang sudah kembali ke perantauan masing-masing. Minal Aidin Wal Faidzin, Maaf Lahir Batin. Selamat Idul Fitri 1429 H. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar