Rabu, 10 Desember 2008

Jejak Kanjeng Sunan Kalijaga yang Tertinggal


Menyusuri pedalaman Kulonprogo –apalagi jarang melintasinya- bukan perkara mudah ternyata. Hal itu saya alami saat meliput untuk rubrik utama, jalan-jalan dan seni beberapa waktu lalu. Dari empat target, kami hanya mendapatkan tiga berita, karena salah satu target narasumber kami tiba-tiba ada urusan (klasik banget alasannya). Dari sekian tujuan liputan, yang paling membuat saya penasaran ialah pemandian Clereng yang terletak kurang lebih 4 km dari Wates. Sebelumnya saya tidak mengira kalau pemandian yang kini telah dipugar itu merupakan salah satu petilasan Sunan Kalijaga.

Menyebarkan Islam ala Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga, seperti halnya Syekh Siti Jenar, memang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa melalui sisi budaya. Seperti diketahui banyak orang, Islam menemui banyak halangan untuk berkembang di tanah Jawa karena bertemu dengan kultur yang sudah sangat kuat, yaitu kultur Hindu/Buddha di bawah pengaruh kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga melakukan transmogrifikasi dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam budaya-budaya Jawa seperti memasukkannya ke dalam syair-syair macapat, memodifikasi wayang kulit, menciptakan lagu yang sangat terkenal, Lir-Ilir, dsb. Pendekatan budaya seperti ini yang memang tidak disebutkan secara literalistik linguistik dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist menyebabkan banyak pihak menganggap ajaran-ajaran Sunan Kalijaga adalah bid’ah.

Sunan Kalijaga adalah Putra dari seorang Adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta (Raden Sahur) yang keturunan dari Ranggalawe.Sewaktu masih kecil, Sunan Kalijaga bernama Raden Seca, karena sering mencuri di gudang Kadipaten dan dibagikan kepada rakyat miskin, akhirnya ia dilarang keluar dari Istana. Dan Raden Seca harus belajar ilmu agama yang di ajari oleh Sunan Ampel. Setelah mendapat gemblengan dan semakin memahami makna sejarah Islam, akhirnya Raden Seca namanya di ganti oleh Sunan Ampel menjadi Raden Said.

Kemudian Raden Said berkelana dan melawan para perampok yang merampok harta orang miskin. Ia juga merampok para pejabat kaya, dan hasil dari rampokannya itu diberikan kepada orang miskin, terutama di hutan wilayah Tuban, ia mempunyai julukan Brandal Lokajaya. Beberapa tahun kemudian Raden said bertemu dengan Sunan Bonang, dan sejak itu ia tidak merampok lagi. Dia benar-benar mendalami agama Islam dan melakukan semedi ditepi sungai. Dan Raden Said oleh Sunan bonang diberi gelar Sunan Kalijaga.

Sejak saat itu Sunan Kalijaga mulai berkelana untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Sunan kalijaga tidak seperti para Wali lainnya yang memiliki pusat sarana pendidikan dan pengembangan dakwah yang berupa pondok pesantren. Ia lebih memilih mengembara dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Kalijaga mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat yang menjadi sasaran pengembangan agama Islam. Dimaklumi, karena pada saat itu pengaruh mistik, animisme dan dinamisme, Hindu dan Budha sangat kuat sekali menguasai masyarakat Jawa. Namun demikian, Sunan Kalijaga dapat menggiring mereka masuk Islam secara halus. Dengan cara memanfaatkan budaya Hindu dan Budha sebagai sarana dakwah.

Karena kepiwaiannya itu Sunan Kalijaga mendapat banyak julukan. Di Cirebon dia dipanggil Pangeran Jayaprana, di daerah lain sering disebut Raka Brangsang,Entol,Kajabur dan sejumlah nama lainnya. Ia juga dikenal sebagai ulama besar, seorang wali yang memiliki kharisma tinggi. Bahkan dikatakan pula, ia mengungguli para wali lainnya.Sunan Kalijaga dikenal dan dikagumi oleh masyarakat lapisan bawah, namun disegani oleh kalangan atas. karena mempunyai pemikiran dan terobosan baru juga ide-ide ‘nyentrik’ yang diciptakan untuk berdakwah. Ia juga mengenakan pakaian yang mencerminkan ciri khas jawa, sehingga rakyat yang masih awam tidak merasa asing melihat penampilannya.

Adat istiadat yang dalam pandangan para wali lainnya dianggap bid’ah, namun oleh Sunan Kalijaga tidak langsung ditentangnya. Ia mempunyai anggapan bahwa orang harus dibuat senang dulu, kemudian perlahan-lahan merebut simpatinya sehingga mereka berkenan mendekati para wali. Jika sudah terbentuk yang demikian, maka Sunan Kalijaga kemudian memasukan ajaran agama Islam. Apabila mereka telah mengenal Islam dan menjadi muslim, perlahan-lahan diberi pengertian bahwa adat-istiadat yang dilakukan selama ini bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Di Goa Cerme dan Pemandian Clereng
Selama proses penyebaran agama islam, tak urung Sunan Kalijaga pernah menapaki tanah atau daerah-daerah dan jejaknya disebut petilasan baik untuk menyepi atau meditasi. Di DIY pun Syahdan Sunan Kalijaga pernah mampir kemudian tinggal di Gua Cerme dan Pemandian Clereng. Masyarakat sudah tidak asing dengan keberadaan Goa Cerme. Goa besar dan panjang ini berada di Kecamatan Imogiri, Bantul. Satu jam perjalanan dari kota Yogyakarta. Menurut cerita yang tersebar di masyarakat Goa ini kabarnya ditemukan oleh Sunan Kali Jaga. Dinamakan Goa Cerme karena di goa ini para wali memberikan ceramahnya sebelum menyiarkan agama Islam.
Ada 9 lekukan di mulut goa yang diyakini bekas jejak para wali saat memberikan ceramah. Ritual harus dilakukan sebelum memasuki goa. Ada 17 tempat yang merupakan jejak para wali yang dikeramatkan masyarakat di goa ini. Tempat -tempat inilah yang pernah disinggahi para wali.

Selain di Goa Cerme, Sunan Kalijaga juga pernah menjejak di Kulonprogo, kini dikenal dengan pemandian clereng. Di kawasan teduh itu terdapat mata air yang dipercaya membuat awet muda dan bertuah keselamatan, keberhasilan dan ketentraman. Meski kini sudah dipugar menjadi pemandian umum, tetapi aroma sejarahnya tetap terasa ketika saya mendatanginya. Meskipun peristirahatan terakhir Sunan Kalijaga berada di Kadilangu, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, tetapi beliau pernah menjejak dan bahkan sempat menyebarkan Agama Islam di Yogyakarta

3 komentar:

  1. keren...

    aq termasuk pengagum sunan kalijaga,,,,

    thx infonya

    BalasHapus
  2. mENGUNJUNGI DAN MEMBACA BLOG

    BalasHapus
  3. sip untuk pengkajian pembelajarn sejarah islam jawa,,,,

    BalasHapus