Jumat, 05 Desember 2008

Ketika Merek Mengejar prestise


Hari gini siapa sih yang belum tahu barang-barang bermerek? Kebanyakan dari kita apalagi penggemar merek tentu tidak asing lagi dengan merek-merek yang mendunia. Sebut saja untuk dunia fesyen banyak dikenal Armani, Versace, Guess, Dolce & Gabbana dan belum lagi jebolan desainer kota mode yang banyak diburu masyarakat Indonesia. Untuk sepatu dan tas seperti Louise Vuiton, Gucci, Prada, Nevada, Fladeo, FLD, ST Yves sampai merek lokal seperti Yongki Komaladi. Tak ketinggalan pula, merek parfum yang sering diburu antara lain Calvin Klein, Kenzo, Channel, Escada, Paris Hilton, J-lo dan Kylie Minogue.

Seberapa pentingkah merek bagi kita? Kalau ditilik dari kamus bahasa Indonesia merek ialah tanda yang dikenakan oleh pengusaha pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal. Merek juga memberikan fungsi untuk membedakan suatu produk dengan produk lain dengan memberikan tanda, seperti yang didefinisikan pada pasal 1 Undang-undang Merek (UU No. 15 Tahun 2001).Kemudian tanda tersebut harus memiliki daya pembeda dan digunakan untuk membangun loyalitas konsumen.

Banyak yang mengatakan merek ialah identitas diri, makin ekslusif merek maka makin dikenal orang itu. Namun apakah idiom semacam itu masih berlaku di tengah krisis global saat ini? Tentunya banyak orang yang berpikir dua kali untuk memakainya. Termasuk saya, jangankan krisis ga krisis juga saya tetap bertimbang banyak. Gimana enggak untuk memakai barang-barang bermerek itu kudu merogoh kocek yang ga sedikit bahkan bisa jadi gaji satu bulan aja belum cukup.

Meski emang diakui kalau barang-barang berkualitas cenderung lebih awet jadi ga cepat-cepat ganti. Tapi sayangnya fungsi utama itu telah bergeser dari yang tadinya agar bisa bertahan lama menjadi trend yang ga pernah berhenti berkreasi. Setiap muncul mode lantas diburu tak peduli berapa budgetnya. Semua itu tak lepas dari tuntutan gaya hidup dan prestise semata. Herannya masih saja ada orang yang menghargai orang lain dari penampilan alias apa yang dikenakannya. Hipotesanya ialah semakin mahal barang yang dipakai semakin tinggi pula status sosialnya di masyarakat. Virus itulah yang tengah menjangkiti kaum urban.

Padahal kalau dipikir membeli produk lokal apalagi langsung dari sentra industrinya lebih murah dan tentu saja bisa membantu usaha kecil menengah yang sedang kembang kempis. Misalnya beli sepatu di cibaduyut, baju-baju di Paris van Java (Bandung), aksesoris di Jogja atau Bali. Tapi apa banyak yang mau menghargai produk sendiri kalau citra yang dibangun produk made in luar negeri lebih menyilaukan mata.

Well, mungkin kembali ke pilihan apakah dengan menggunakan pakaian atau barang-barang bermerek kita akan merasa nyaman, atau justru sebaliknya. Tapi bagi saya sih, asalkan tidak membedakan status sosial seseorang, apalagi hanya dari apa yang dikenakan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar