Rabu, 28 Januari 2009

Akhir Tanpa Kejutan

Senin lalu mumpung lagi liburan Imlek, saatnya refreshing. Sambil makan snack dan minum rasa mint plus apel saya asyik melumat habis film yang dibesut oleh sutradara flamboyan Hanung Bramantyo bertajuk “Perempuan Berkalung Sorban”.

Film yang diproduksi Starvision ini merupakan film adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Abidah El-Khaeliyq (Berperan sebagai cameo). Film ini menambah deretan film Indonesia pascareformasi yang dibuat dengan mendekati subyek mereka dengan memakai perspektif perempuan. Sebelumnya, kita sudah menyaksikan Pasir Berbisik (Nan T. Achnas), Eliana-eliana (Riri Riza), Berbagi Suami (Nia Dinata), dan Perempuan Punya Cerita (Faitmah T. Rony, Upi, Nia Dinata, Lasja F. Sutanto) Juga, dalam skala lebih luas dan longgar, Marsinah (Slamet Rahardjo). Dengan pernyataan tegas di pelbagai materi publikasi film ini, maka Perempuan Berkalung Sorban menjadi film dengan sebuah pernyataan politis: perempuan sedang mendaku posisi mereka dalam ranah film di Indonesia, dalam hal ini meliputi perspektif agama, pendidikan, dan domestik rumahtangga).

Ini adalah sebuah kisah perjuangan dan pengorbanan seorang perempuan. Seorang anak kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri. Anissa (Revalina S Temat), sosok perempuan dengan pendirian kuat, cantik, kritis, dan cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren Salafiah putri Al Huda, Jawa Timur yang konservatif. Bagi pemilik pesantren tersebut ilmu sejati dan benar hanyalah Qur’an, Hadist dan Sunnah. Buku modern seperti misalnya karya Pramoedya Ananta Toer dan Tan Malaka dianggap menyimpang.

Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Hal itu bisa dilihat dari pekerjaan yang dikotomis antara perempuan dan laki-laki. Annisa kecil tidak boleh berkuda dan gagal menjadi ketua kelas lantaran dia perempuan yang tak boleh jadi pemimpin. Sampai masa remaja pun dia tak boleh keluar tanpa muhrim meski dengan alasan membeli sesuatu.

Protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (Oka Antara), paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Anissa. Menghiburnya sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Anissa.Dunia yang selalu optimis akan kebebasan dan cita-cita yang harus diraih, apapun kendalanya.
Diam-diam Anissa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo. Secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah ke Jogja dan diterima tapi Kyai Hanan tidak mengijinkan, dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Anissa merengek dan protes dengan alasan ayahnya tapi tak punya kekuatan apa-apa karena Pesantren Al-Huda berhutang banyak dengan Pesantren Al-Ikhlas.

Mungkin banyak yang menyayangkan keputusan Khudori meninggalkan Annisa yang harus berjuang sendiri, meski harus memendam perasaannya Khudori tetap pergi. Dalam hal ini sang tokoh bersikpa realistis, tidak ngoyo mempertahankan cintanya. Dia punya kelemahan untuk tak frontal menghadapi tradisi yang mengakar. Kesan yang ditangkap terlihat natural.

Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Seperti apapun sikap dan tingkah laku Din, karena dia anak kyai terpandang, panggilan Gus tetaplah melekat kuat. Hal itulah yang membuat Annisa tak percaya jika Samsudin menggunakan doktrin agama untuk menguasai “keperempuanan” Annisa. Bayangkan Samsudin sama sekali takmenghargai istrinya dengan melakukan kekerasan fisik maupun psikologis. Wajar saja Annisa akhirnya trauma pada sentuhan laki-laki karena dia membayangkan perlakuan Samsudin ketika menggaulinya dengan cara yang tidak memanusiakan.

Belum lagi Annisa dihadapkan pada kenyataan kalau Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Dia ingin minta cerita, tapi lagi-lagi celaan diberikan oleh ibu mertuanya yang mengatakan, “seorang suami tidak akan ‘main’ dengan perempuan lain kalau sang istri bisa memuaskan kebutuhan suami”. Jelas jika kalimat itu masih menganggap kalau perempuan hanya sebagai alat pemuas.

Disaat seperti itu, tiba-tiba Khudori muncul dan menyatakn penyesalannya pada Annisa, dan ditanggapi Annisa dengan sikap dingin karena baginya, Khudori merupakan jalan terbaik buat hidupnya. Sampai kemudian timbul fitnah antara kedekatan Khudori dengan Annisa di pantai dan diketahui oleh Din dan para santri. Seperti halnya hukum islam jika perempuan melakukan perzinahan maka mereka pun nyaris dirajam sampai akhirnya ibu Annisa coba melawan dan mengatakan hanya yang tidak punya dosa yang boleh melakukannya, semua santri dan kyai pun terdiam dan Ayah Annisa jatuh pingsan sampai akhirnya meninggal.

Annisa yang terpuruk coba bertahan dengan melanjutkan lagi cita-cita yang sempat tertunda yaitu kuliah di Yogyakarta dan menjadi penulis. Kisah lama kembali terkuak, benih cinta Khudori dan Annisa tak mampu dibendung lagi dan mereka pun menikah. Belum sempat Annisa mencecap aroma kebahagiaan Khudori pun menyusul ayahnya, saat anak mereka masih kecil dan perjuangan Annisa untuk melakukan perubahan di Pesantren baru dimulai. Tiba-tiba Annisa ingat akan kata-kata Khudori bahwa tanpanya, Annisa adalah perempuan yang kuat. Annisa bangkit dan berjuang sendiri. Dalam fase itulah kembali kekuasaan laki-laki yang diwakili oleh Din coba melecehkan Annisa dengan bahasa tubuhnya yang mesum.

Novel dan film merupakan dua karya yang berbeda dan berdiri sendiri-sendiri. Meski saya sudah membaca novel ini delapan tahun yang lalu saya tak bisa serta merta membandingkannya bahwa novel atau film lebih baik.
Secara sinematografi, penggambaran yang film ini cukup memanjakan mata karena penonton disuguhkan pemandangan khas dengan setting perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, Pantai Parangkusumo Yogyakarta sampai kawasan Malioboro. Sementara dari segi karakter penokohan begitu kentara hitam dan putihnya sehingga tak membuat penonton mampu menebak karakter tokoh, adegan secara gamblang bisa ditangkap.

Ada lagi minusnya yakni jarang sekali diselipi celetukan humor dari pemainnya kecuali adegan ngemong Khudori dan Annisa. Kemudian penggambaran perubahan di pesantren yang digambarkan terlalu cepat, seperti tidak menikmati proses (dari konvensional ke radikal). Hal tersebut jelas terlihat saat Annisa membagikan buku-buku yang pada saat settingnya tahun 90-an masih dianggap subversif. Bagian endingnya pun terkesan wagu dan dipaksakan. Karena ingin menyajikan pesan yang kuat di akhir cerita terlihat Annisa yang sudah berhasil membuat suatu perubahan di pesantrennya, dia membuang dengan atau tanpa sengaja sorban merahnya. Benar-benar tanpa kejutan.

Di luar problem internal perempuan sendiri, film ini cukup untuk memberikan gambaran tentang peliknya persoalan perempuan di negeri ini, baik di lingkup pekerjaan, pendidikan, pesantren, pemerintahan, politik, rumahtangga dan sebagainya. Juga mengingatkan betapa masih banyak persoalan perempuan yang membuat kita bertanya sudahkah kita menjadi diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar