Jumat, 06 Februari 2009

Tapak Diponegoro di Goa Sriti

Saat acara EKSPRESI di Kalibawang akhir Desember lalu, saya dan kawan-kawan secara tidak sengaja menjumpai petunjuk menuju Goa Sriti. Lantas tanpa banyak debat, dengan modal nekat kami pun melanjutkan perjalanan menggunakan sepeda motor. Meski jalan licin dan kami pun sampai menuntun motor lantaran terlalu curam, hal itu tak melunturkan semangat kami yang penasaran ingin sampai ke atas.

Bukit Menoreh terkenal dengan daerah perbukitan yang membentang di wilayah utara Kabupaten Kulon Progo, sebagai batas antara kabupaten tersebut dengan Kabupaten Purworejo di sebelah barat dan Kabupaten Magelang di sebelah utara. Tidak jauh dari perbukitan Menoreh terdapat Goa Sriti tepatnya di Dukuh, Purwoharjo, Samigaluh.

Setelah waktu berlalu sekitar 20 menit, kami pun sampai di ketinggian 200 meter dan memasuki mulut Goa dengan lebar 50 meter. Jujur, saya sempat bergidik karena tak ada orang lain, kecuali kami. Suara tetesan air dari stalaktit dan staglamit yang bersahut-sahutan seakan memecah kebisuan kami mengagumi Goa Sriti. Sayangnya kami tidak prepare membawa senter sebelumnya, jadi tak bisa masuk sampai jauh. Menurut cerita kawan-kawan, Goa Sriti merupakan pertahanan akhir Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda sebelum ditangkap.

Saya sempat heran, potensi Goa Sriti di daerah yang cukup subur dan terletak di perkebunan penduduk serta dekat dengan Sungai Kalibawang ternyata belum digarap dengan maksimal. Terbukti Goa Sriti belum menjadi kawasan wisata resmi, melainkan masih sebatas tempat berlatih panjat tebing bagi anak-anak Mapala.

Bukit Menoreh memang basis pertahanan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya dalam berperang melawan Belanda. Bahkan salah satu putera beliau bernama Bagus Singlon atau yang juga terkenal dengan Raden Mas Sodewo (putera Pangeran Diponegoro dengan R.Ay. Mangkorowati) ikut juga melawan Belanda di wilayah ini. Raden Mas Sodewo atau Ki Sodewo bertempur di wilayah Kulon Progo mulai dari pesisir selatan sampai ke Bagelen dan Samigaluh.

Diponegoro dan Asal Usulnya
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Catatan Perjuangan Melawan Belanda
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar