Minggu, 08 Maret 2009

Sekaten: Memikat Masyarakat Tanpa Sekat

Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan Keraton Yogyakarta yang dilaksanakan selama tujuh hari. Syahdan, asal-usul upacara ini sudah ada sejak Kerajaan Demak. Upacara ini sejatinya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Awal mula agama Islam berkembang di Jawa, salah seorang Wali Songo - yaitu Sunan Kalijaga - memikat masyarakat luas dengan menggunakan gamelan dan menggelar karawitan. Untuk tujuan syiar ini, beliau menggunakan dua perangkat gamelan, yaitu Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu.

Istilah Sekaten sendiri, sebenarnya berasal dari kata Syahadatain (mengucapkan kalimat Syahadat, yakni persaksian muslim bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah), yang kelamaan berubah pengucapan menjadi sekaten. Perayaan Sekaten dilangsungkan setiap tahun pada tanggal 5-11 Maulud tahun Jawa atau bulan Rabi’ul Awal dalam kalender Islam. “Rangkaian Perayaan Sekaten dimulai dengan tradisi miyos gongso, yaitu prosesi dikeluarkannya sepasang gamelan pusaka dari Keraton yaitu Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga menuju Masjid Gedhe.Upacara ini diselenggarakan selepas shalat Isya, pada malam hari menjelang tanggal 6 Maulud.

Pada malam ke delapan, Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara udhik-udhik atau tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu, Sultan atau wakil beliau masuk ke Masjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian Maulid Nabi Muhammad SAW dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Saat ini, selain upacara tradisi seperti itu, juga diselenggarakan pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara Sekaten yang sesungguhnya.

Penghormatan Lahirnya Tuntunan
Sejarah keramaian Sekaten sudah ada sebelum Kasultanan Demak berdiri pada abad ke-15. Pada masa Kerajaan Majapahit masih berkuasa, Kadipaten Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, setiap tahun menjadi tempat musyawarah para pemuka agama Islam di Pulau Jawa, yang dikenal dengan nama Walisanga. Pertemuan para wali berlangsung selama sepekan pada bulan Rabi’ulawal, yang diakhiri pada tanggal 12, bersamaan dengan perayaan untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Menurut RM Tirun Murwito, kerabat dekat Sri Sultan Hamengku Buwono X, untuk memperkuat syiar Agama Islam, pada tahun 1399 Saka, Raden Patah bersama para wali membangun Masjid Agung di Kadipaten Demak. “Di masjid inilah dipusatkan tradisi musyawarah tahunan para wali, sekaligus keramaian untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW, yang diisi dengan kegiatan syiar Agama Islam,” terang RM Tirun Murwito.
Dikatakannya, para wali menyadari jika rakyat yang masih memegang erat kepercayaan lama, sangat sulit dipengaruhi dan diajak memeluk Agama Islam. “Singkat cerita, musyawarah para wali pun bersepakat untuk melakukan strategi budaya. Berbagai tradisi lama akan terus dilestarikan, namun diberi warna dan sentuhan spiritual sesuai dengan ajaran Agama Islam,” tandasnya.

Oleh karenanya, untuk menarik perhatian rakyat agar mau hadir dan masuk ke Masjid Agung, Sunan Kalijaga mengusulkan agar diperdengarkan bebunyian gamelan di halaman masjid. Sementara pada saat yang sama, para wali melakukan dakwah langsung kepada rakyat. Meski secara hukum memperdengarkan gamelan di lingkungan masjid dianggap makruh, namun demi kelancaran syiar Agama Islam, para Wali menyetujui gagasan ini. Sunan Kalijaga yang sangat memahami budaya Jawa, kemudian menciptakan seperangkat gamelan yang diberi nama Kyai Sekati. Sementara gendhing-gendhing yang akan diperdengarkan, diciptakan bersama antara Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri dan Sunan Kudus.

Gerebeg Jadi Daya Tarik
Puncak acara Sekaten ditandai dengan dikeluarkannya 2 perangkat gamelan Keraton - Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga - sekitar pukul 23.00 WIB dari Bangsal Sri Manganti, kemudian singgah sebentar di Bangsal Ponconiti, untuk selanjutnya diletakkan dan dibunyikan di Pagongan Lor (Kyai Guntur Madu) dan Pagongan Kidul (Kyai Naga Wilaga) komplek halaman Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta selama seminggu, yaitu tanggal 5-12 Mulud tahun Jawa.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Gerebeg Sekaten menjadi magnet bagi masyarakat. Mereka tidak hanya dari kota Yogyakarta, melainkan juga dari Bantul, Kulonprogo, Sleman dan Gunungkidul. Bahkan tak sedikit pengunjung luar DIY yang datang. Acara Sekaten yang diadakan untuk memeringati Maulid Nabi Muhammad SAW diakhiri dengan acara Gerebeg Maulud. Gerebeg adalah upacara adat berupa sedekah yang dilakukan pihak Keraton kepada masyarakat berupa gunungan.

Untuk menyiapkan ubo rampe (sesaji-red) gunungan Gerebeg Sekaten, kesibukan para abdi dalem keraton sudah mulai terlihat seminggu sebelumnya. Sebelum membangun gunungan, dilaksanakan upacara numplak wajik. Gunungan ini dibuat dari wajik yang berwarna-warni. Ada merah, hijau, putih, coklat, orange dan hitam. Wajik-wajik itu dipasang pada sebilah bambu yang berjumlah ratusan, kemudian ditancapkan satu per satu hingga membentuk gunungan.

Nginang dan Mendapat Berkah
Ada tradisi unik yang mendasari kenapa ada banyak penjual kinang, endog abang (telur merah-red), pecut, dan sega gurih (nasi gurih-red) di sekitar halaman Masjid Gedhe Kauman ini. Masyarakat percaya, jika mendengar gamelan ini ditabuh, kemudian nginang (mengunyah daun sirih, gambir, tembakau dan kapur), maka dipercaya akan awet muda dan mendapat berkah. Ada kepercayaan setelah nginang bibir dan gigi tidak berwarna merah, berarti orang itu sering bohong.

Selain tradisi nginang, ada tradisi membeli dan makan nasi gurih. Tradisi ini adalah simbol bahwa kita mensyukuri apa-apa yang sudah kita dapatkan. Dengan makan nasi yang sudah diberi bumbu, diharapkan kehidupan kita akan semakin nikmat, seperti rasa nasi yang kita makan. Ada pula tradisi membeli telur merah. Telur yang dimaksud ialah telur rebus biasa yang kulitnya diberi warna merah. Telur ini kemudian ditusuk dengan menggunakan tusuk sate kemudian dihias. Telur adalah cikal-bakal kehidupan. Sedangkan warna merah artinya keberuntungan, rejeki, berkah, dan keberanian.

Jadi diharapkan dengan memakan telur ini, kita bisa kembali lahir menjadi seseorang yang berjiwa bersih, pemberani dan penuh keberkahan. Sedangkan tusuk sate melambangkan bahwa kita semua memiliki poros kehidupan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Sementara pecut adalah alat yang digunakan untuk menggiring ternak agar berjalan pada jalan yang benar. Nah, makna membeli pecut di tempat ini adalah diharapkan kita bisa menggiring nafsu kita supaya berjalan ke jalan yang benar. (Taken from Jogja Education Magz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar