Senin, 16 Maret 2009

Affirmative Action: Mengingkari Perjuangan Gender?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali mempertimbangkan aturan memasukkan satu perempuan dari setiap tiga calon anggota legislatif terpilih (affirmative action) pada Pemilihan Umum 2009. KPU memasukkan affirmative action bagi caleg perempuan dalam peraturan KPU menyesuaikan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan calon legislatif terpilih ditentukan dengan suara terbanyak. Pasal ini menghilangkan keterwakilan 30% caleg perempuan yang diatur dalam Pasal 55 UU 10/2008 tentang Pemilu.

Namun UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya pasal 214 yang menjelaskan tentang penetapan calon anggota DPR dan DPRD terpilih berdasarkan nomor urut telah dibatalkan oleh MK. Sekaligus memutuskan bahwa penetapan calon terpilih anggota DPR maupun DPRD adalah berdasarkan suara terbanyak. Muncul reaksi beragam berkaitan dengan keputusan MK tersebut, diantaranya yang mengemuka saat ini adalah tentang caleg perempuan.

Sejumlah pihak menilai bahwa penetapan suara terbanyak akan merugikan caleg perempuan, karena beranggapan bahwa caleg perempuan akan sulit bertarung untuk memperoleh suara dibandingkan caleg pria yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan di DPR/DPRD. Wacana untuk membuat aturan khusus bagi afirmatif caleg perempuan muncul dari sejumlah organisasi/aktivis perempuan dan mendesak pemerintah atau KPU agar segera membuat aturan penetapan caleg terpilih dalam Pemilu yang memberikan perlakuan khusus/perlindungan bagi caleg perempuan, dalam rangka mewujudkan minimal 30% keterwakilan perempuan di DPR/DPRD sesuai undang-undang.

Pentingnya perlakuan khusus terhadap caleg perempuan ini, menurut Marwah Daud Ibrahim karena kaum lelaki sepanjang sejarah perpolitikan di tanah air selalu menguasai arena, mulai dari menjadi pengurus partai sampai dengan pimpinan parlemen.Jadi sudah waktunya kini memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk lebih bisa berperan di parlemen. Menurut anggota Komisi I (Bidang Pertahanan) DPR RI itu, setidaknya momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 ini dijadikan sebagai pintu awal guna memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk tampil di parlemen.

Selama ini partai dituntut memenuhi kuota tersebut sebagai salah satu affirmative action untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dengan perempuan. Bahkan, dalam pengaturan nomor urut caleg perempuan telah diatur agar di setiap tiga caleg harus ada satu caleg perempuan. Beberapa parpol bahkan menempatkan caleg perempuan di nomor urut kecil.

Banyak para aktivis pergerakan perempuan menolak putusan Mahkamah Konstitusi. Ditetapkannya penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak dinilai bertentangan dengan prinsip pemilu proporsional terbuka terbatas yang dianut. Padahal perlakukan khusus itu merupakan pencapaian penting perjuangan perempuan sejak Pemilu 1999 untuk menempatkan 30 persen perempuan di lembaga perwakilan rakyat (DPR) di tingkat pusat hingga kabupaten.

Belum lagi alasan lainnya, pasal yang menempatkan caleg jadi nomor urut dan prosentase caleg perempuan seakan terpinggirkan. Caleg yang berhak menduduki jatah kursi di parpol legislatif melalui keputusan MK adalah dengan suara terbanyak. Karena itu meski perempuan berada di nomor urut kecil tetapi jika ada nomor urut besar yang meraih suara banyak, maka itulah yang berhak mendapatkan kursi legislatif.

Di sisi lain, sebetulnya dengan penerapan suara terbanyak justru caleg perempuan malah lebih diuntungkan dibanding dengan prinsip nomor urut, karena dengan prinsip suara terbanyak kemungkinan terpilihnya perempuan bisa lebih besar dan bahkan bisa melebihi caleg pria, asalkan caleg perempuan tersebut memiliki potensi yang menjanjikan dan memberikan harapan serta memiliki jaringan serta mesin sosial yang luas dan kuat di masyarakat. Dengan demikian, kalau sistem penetapan caleg terpilih sudah menggunakan prinsip suara terbanyak, maka tidak perlu lagi aturan khusus yang mengatur tentang kekhususan caleg perempuan. Kalau juga masih diatur dikhawatirkan justru tidak sejalan dengan semangat kesetaraan gender, karena terlalu berlebihan memberikan perlindungan khusus kepada caleg perempuan.

Permasalahan kesetaraan gender yang mendasari munculnya klausul tersebut kalau dicermati lebih jauh juga tidak cukup beralasan, karena justru kesetaraan gender yang diperjuangkan sebetulnya bagaimana membangun kesamaan hak antara perempuan dengan pria dalam setiap kesempatan, sehingga bila ada kebijakan khusus yang diperuntukkan bagi perempuan tanpa melihat kapasitas dan kapabilitas serta elektabilitas malah menjadi sebuah pengingkaran dari semangat demokrasi dan perjuangan kesetaraan gender itu sendiri.

Semua dikembalikan pada esensi demokrasi. Apakah ini pertanda bahwa di sektor politik perempuan tak cukup mempunyai peluang, ataukah hal ini bisa dijadikan semacam kritikan yang sejatinya disambut dengan penuh optimisme, bahwa perempuan tidak perlu ’belas kasihan’ di pemilu 2009 ini. Meski peluang perempuan duduk parlemen semakin berat, tetapi kondisi tersebut harus disikapi dewasa oleh mereka, caleg perempuan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar