Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. (Ki Hajar Dewantara)
Semboyan tersebut memiliki arti masing-masing sebagai berikut: Ing ngarsa sung tulahda diartikan di depan memberi peluang, ing madya mangun karsa berarti di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa dan tut wuri handayani artinya dari belakang memberikan dorongan dan arahan. Buah pemikirannya perihal tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan yang didalamnya banyak terdapat perbedaan-perbedaan dan tentunya dalam pelaksanaan pendidikan itu tidak membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial dan sebagainya serta didasarkan pada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Ketika berbicara pendidikan, maka kita juga berbicara peradaban. Urgensinya terletak pada hakikat pendidikan, yaitu sebagai sebuah instrumen terpenting dalam mencetak generasi dengan suplemen intelektual yang berintegrasi dengan potensi. Elemen-elemen pendidikan tentu saja menjadi suatu bentuk integral lain yang sangat penting untuk diperhatikan demi terwujudnya visi pendidikan yang memanusiakan manusia. Apa yang menjiwai elemen-elemen tersebut akan menghasilkan output yang sangat berpengaruh kepada mentalitas anak didik, dan muara dari itu semua adalah format peradaban masa depan.
Jika kita perhatikan lebih jauh, guru adalah inti dari pendidikan. Siapa pun yang ingin sukses pasti melalui ’didikan’ guru. Akan tetapi, selama ini profesi guru lebih banyak dipilih sebagai alternatif kedua atau pilihan terakhir, jika apa yang ingin mereka raih tidak tercapai. Hal itu akibat dari banyaknya masalah yang muncul. Mulai dari kualitas mereka, daya tawar mereka yang lemah, nasib mereka yang kurang beruntung, sampai krisis dan sistem pendidikan yang diragukan kualitasnya. Apalagi ditambah dengan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa guru atau tenaga honorer yang bisa diangakt menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) mereka yang kesejahteraannya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah.
Nyatanya hingga sekarang terkesan pemerintah belum memberikan wujud perhatian dan kepedulian terhadap nasib guru seperti yang telah dijanjikan dalam kampanye SBY, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Permasalahan gaji guru yang kurang memadai selalu menjadi bahan pembicaraan masyarakat luas. Tidak jarang akibat semua itu memaksa sebagian guru melakukan aksi turun ke jalan, meminta kebijaksanaan pemerintah yang pernah berjanji akan memperbaiki kesejahteraan mereka (guru).
Tidaklah heran jika banyak guru terpaksa melakukan usaha lain, mencari tambahan penghasilan, di luar tangggung jawabnya sebagai pendidik. Sebagai akibatnya, jam mengajar berkurang dan konsentrasi terganggu. Hal itu berdampak pada kurangnya persiapan guru dan kurangnya frekuensi tatap muka guru dengan siswa. Kelas menjadi sering kosong, tak ada guru, target penyampaian pelajaran tidak terpenuhi sesuai persyaratan kurikulum yang ada. Jika begitu bagaimana dengan nasib anak didik? Dan bagaimana tanggungjawab pemerintah yang masih setengah hati menyelesaikan persoalan ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar