Selasa, 26 Mei 2009

Parman


Mulanya saya tak menemukan jejaknya sama sekali, hanya ada satu artikel yang mengupas dirinya di antara belantara sebuah situs pencarian terkenal. Sungguh pun keinginan itu makin kuat untuk mengenal sosoknya lebih dekat, alasan apa kiranya yang membuat bapak berwajah santun itu bertahan di suatu tempat, yang saya sendiri tak jenak membayangkan.

Perjalanan untuk mengungkap siapakah sejatinya sosok itu pun dibuka dengan berbekal selarik nomor ponsel salah satu petinggi UPTD Dinas Pendidikan tingkat kecamatan Kokap. Saya seperti memasuki negeri antah berantah, asing sekali belum pernah saya ke tempat ini. Irama musik Oemar Bakri-nya Iwan Fals berdentum mengiringi pencarian lokasi SD N Gunung Agung, Plampang, Kalirejo, Kokap, Kulonprogo (salah satu SD terpencil dari 10 SD di Kokap). Jalan berkelok, sebelah kanan bukit rawan longsor, samping kiri jurang. Belum lagi labirin pepohonan yang membuat degup jantung makin tak karuan. Karena medan yang jauh, tak ayal kami pun salah arah dan harus berbalik mencari jalan lain.

Kendaraan kami mulai tak sanggup menempuh medan bebatuan besar dan acapkali mengeluarkan bunyi. Akhirnya kami putuskan berjalan di tengah gerimis kecil-kecil yang mulai turun perlahan di antara lebatnya pepohonan dan gemericik sungai kecil. Saat nafas kami terengah tiba-tiba ada dua orang guru SD N Gunung Agung tersenyum ramah seraya mengajak kami naik ke motornya.

“Masih berapa kilo lagi, Pak,” ujarku.
“Ah dekat kok mbak, setengah kilo lagi,” ujar bapak sumeh itu.

Ya ya..aku pun menghitung, jarak dekatnya orang sini ternyata lebih dari dua kilometer setengah, dengan jalan bebatuan dan tanah lempung yang licin. Kalau tadi kami nekat jalan kaki bisa sekuat apa ya.

Tibalah kami di SD N Gunung Agung, aku hanya tertegun memandang kok ada ya bangunan di daerah yang jarang permukiman ini. Dari sini saya bisa melihat Laut Selatan dan Jalan Raya Wates-Purworejo. Guru- guru menyambut hangat dan langsung memersilahkan kami menikmati teh panas, singkong dan kacang rebus. Anak-anak di sini juga ramah dan sopan, tiap kali berpapasan dengan guru tanpa komando mereka serentak menundukkan badan khas orang Jepang.

Namanya Parman, sudah mengabdi genap 25 tahun dan tak pernah terpikir untuk pindah hingga masa akhir pensiunnya kelak. Awalnya bapak kelahiran tahun 1960 ini tak pernah bercita-cita jadi guru, ia hanya mengikuti saran kakaknya. Pascalulus dari jurusan Penyiaran Agama Islam, IAIN Sunan Kalijaga (1984), kabar bahagia datang dan membuatnya tersenyum. Surat pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diidamkannya pun turun, ia ditempatkan di SD N Gunung Agung. “Pasti SD yang luar biasa,” gumamnya waktu itu.

Tapi bapak yang punya hobi membaca ini terkejut bukan lantaran jarak, tapi akses ke sana yang masih jalan setapak, mendaki, terjal, dan tak bisa dilalui oleh sepeda dan motor. Hanya karena panggilan sebagai guru, Parman yang sejenak terpekur mampu menorehkan guratan senyum kembali di antara jalanan sepanjang 10 kilometer.

Delapan tahun bukan waktu yang singkat bagi Parman untuk membuka paginya dengan berjalan dan menutup sore dengan berjalan pula. Baru pada tahun 1992 jalan selebar mobil mulai dibuka, itu pun baru sebatas makadam alias struktur batu yang ditata sebagai lapisan dasar aspal. Hingga kini jalan itu belum juga diaspal, sementara tiga kilo sisanya masih asli (bebatuan).

Parman sempat dirundung kecewa ketika kelamaan jumlah anak didiknya mulai menipis (Tahun 2009 berjumlah 150 murid). Ia menilai karena keberhasilan Keluarga Berencana (KB) di desa ini tapi juga bisa jadi karena faktor sekolah baru yang dibangun di ‘bawah’ yang lebih mudah diakses oleh anak-anak. Bapak berputri dua yang tinggal di Pengasih, Kulonprogo ini tampaknya mahfum benar jika banyak orangtua yang meyekolahkan anak mereka di sekolah lain. Bayangkan saja setiap hari mereka harus berjalan kaki selama satu jam dan sejauh tiga setengah kilometer. Seleksi alam terjadi di sini.

Senyatanya ia tak menyerah begitu saja, menurutnya kalau berada di daerah yang serba maju, mungkin dia tak bisa melihat seberapa proses kerjanya dan tantangan agar membuat prestasi anak-anak tidak kalah dengan sekolah di kota. Anak-anak di desa ini benar-benar sangat kurang akses informasinya ditambah lagi belum masuknya jaringan listrik.

Rasanya tulisan ini belum cukup menggambarkan siapa Parman sejatinya, lebih cocok sekadar ilustrasi singkat yang entah mengapa begitu membuncah.

Ihwal Parman yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai guru berdedikasi nasional ini rasanya tak genap untuk ‘menghargai’ semangat dan ketulusannya mengajar. Dari Parman saya belajar tentang dua kata itu. Bagaimana semangat mesti selalu dinyalakan tanpa henti dan ketulusan untuk memberikan yang terbaik. Layaknya Parman memberi apa yang bisa dilakukan kepada anak-anak. Mulai dari mengenalkan anak-anak pada dunia luar melalui koran baru yang ‘dijemur’ di pintu masuk sekolah dan tentu pula mengenalkan nilai-nilai budi pekerti sejak dini.

Masihkah ada Parman yang lainnya? Yang dengan tanpa beban ia mengatakan “Di sini saya mengajar, di mana pun saya mengajar,”
Semoga!

Yogyakarta, 21 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar