Suasana riang dan penuh rasa ingin tahu tepancar di raut wajah anak-anak yang belajar di Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (SALAM). Salah seorang siswi yang berambut pirang tampak gemas menyaksikan proses pecahnya telur ayam dan mencatat bagian-bagian yang terdapat pada telur ayam itu. Acapkali dialog mereka diselingi bahasa Inggris. Di antara kerumunan anak, hadir sosok seorang ibu yang saat itu mengenakan kaus hijau dan celana biru. Dialah Sri Wahyaningsih, penggagas sekolah alternatif di antara hamparan sawah nan sejuk dan asri.
Di tengah serbuan sekolah-sekolah yang menawarkan pelbagai kelebihan untuk merayu para orangtua seperti sekolah berlabel internasional, nasional dan percontohan, ternyata tak mampu merayu Wahya –panggilan akrab pemilik nama Sri Wahyaningsih- mengikuti jejak sekolah tersebut. Perempuan kelahiran Klaten ini memilih untuk mengembalikan pendidikan pada esensinya yakni memanusiakan manusia. Seberapa besar pengaruh pendidikan bagi kebutuhan si anak dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan. “Saat ini banyak lho sarjana yang menganggur karena mereka tidak memiliki skill dan kreatif dalam menghadapi persoalan,” ucap Wahya saat ditemui di kediamannya sekaligus sekolah binaannya.
Sekolah yang terletak di Nitiprayan, Kasihan, Bantul ini jauh berbeda dengan sekolah formal lainnya yang berpaku pada kurikulum. Konsep SALAM begitu sederhana, yakni dekat dengan alam dan memaknai peristiwa keseharian lewat permainan. “Saya lebih suka menyebutnya dengan sekolah kehidupan,” ujarnya. Menurut Ibu berusia 48 tahun ini, jika anak ingin pintar kan tidak harus belajar menggunakan kurikulum yang sama, tetapi sesuai dengan keunikan lokalitas masing-masing daerah.
Wahya menerangkan bahwa jika sejak kecil anak-anak mulai dikenalkan dan dibiasakan mencintai keunikan di daerah masing-masing maka dengan sendirinya anak-anak tak mudah memiliki sikap konsumtif. “Misalnya dua hal yang paling rill dan dekat pada anak ialah makanan dan lingkungan. Bagaimana anak belajar makan makanan tradisional dengan bahan baku dari alam dan mulai belajar ramah pada lingkungan,” ujarnya. Semua itu bersinergi dengan kebiasaan anak pada saat mereka berada di rumah.
Ihwal lingkungan, anak-anak sudah dikenalkan bahwa penggunaan sawit mulai dihindari karena bisa merusak hutan, kemudian menggantinya dengan minyak kelapa. Dari minyak kelapa itulah anak-anak bahkan bisa membuat sabun mandi dan mengolah makanan dengan mengurangi penggunaan sawit. Selain itu mereka juga sudah diarahkan untuk mulai mengurangi tissue agar bisa mengurangi penebangan pohon. Untuk siswa SD sudah diajarkan menyatu dengan alam seperti belajar di sawah, membuat kompos di kandang dan lain-lain.
Dirinya juga tengah mengkritisi kurikulum SD yang dinilai sangat membebani anak. “Misalnya otonomi daerah dan tugas-tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Katakanlah itu penting tapi seberapa penting bagi kebutuhan anak? Berbeda sekali efeknya kalau sejak kecil kita mengenalkan pada anak bagaimana mencintai dan melestarikan lingkungan. Anak sudah bisa menerapkan langsung seperti menghemat air, listrik, mengetahui kandungan-kandungan yang ada di bumi dan bagaimana memperbaharuinya,” tutur ibu berkacamata minus ini. Berangkat pada aktivitas yang digagas oleh Wahya, sudah tentu tepat jika SALAM mempunyai motto “sekolah kehidupan”. Wahya juga menegaskan, melalui model pendidikan berbasis komunitas pihaknya ingin menghilangkan konsep penyeragaman dalam dunia pendidikan, termasuk seragam yang tidak berlaku di SALAM.
Kegelisahan pada Anak Putus Sekolah
Wahya sudah sejak tahun 1980 berkecimpung dalam kegiatan pendidikan. Sewaktu masih mahasiswa di Akademi Keuangan dan Perbankan Yogyakarta, ia telah terlibat dengan kegiatan pendampingan masyarakat di pinggiran Kali Code. Di situlah ia bergaul cukup intensif dengan budayawan almarhum Romo Mangunwijaya. Selesai kuliah ia masih aktif di Kali Code. Namun, saat itu ia bekerja untuk Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana. Setelah menikah dengan seorang aktivis organisasi nonpemerintah di Yogyakarta, Toto Rahardjo, ia berhenti bekerja. Karena suaminya mendapat tugas di luar Jawa, ia hijrah ke rumah mertuanya di Desa Lawen, Banjarnegara, Jawa Tengah.
SALAM yang terdiri dari Kelompok Bermain, Taman Anak dan Sekolah Dasar ini mulanya didirikan oleh Sri Wahyaningsih di daerahnya, Lawen, Banjarnegara pada tahun 1988. Keberadaan SALAM di Lawen berangkat dari kegelisahan banyaknya anak putus sekolah dan pernikahan dini di daerahnya asalnya. “Saat itu yang ada dalam pikiran saya bagaimana agar anak-anak tetap punya kesempatan belajar dan membebaskan mereka dari rasa takut,” ungkap peraih penghargaan Ashoka Indonesia untuk wirausaha sosial dengan bidang kerja pendidikan masyarakat pedesaan pada tahun 1991.
Tak lama kemudian pada tahun 1995 dirinya hijrah kembali ke Yogyakarta tepatnya dan memulai aktivitas lamanya. Tetapi tentu saja tidak serta merta atau sim salabim jadilah SALAM, Wahya terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada masyarakat yang mayoritas bertani, pedagang, pengrajin dan seniman. “Pertama-tama saya merintis dengan terpilih menjadi Ketua RT, dari situlah saya coba memetakan persoalan-persoalan yang dialami warga dan saya menemukan ada dua masalah prioritas yakni rentenir dan pendidikan,” ungkap Wahya yang juga pernah meraih penghargaan sebagai Insan Permata. Berpijak pada kesulitan ekonomi yang menimpa mayoritas warga pada saat itu maka lahirlah Koperasi Karya Adi Nastiti (150 anggota) yang memfasilitasi simpan pinjam warga dengan sistem tanggung renteng.
Sebelum menjadi SALAM, awalnya Wahya bersama warga yang lainnya melakukan pendampingan pada remaja melalui program jurnalistik. “Dengan begitu para remaja jadi semakin tahu peristiwa apa atau tokoh siapa yang bisa mereka informasikan,” ujarnya. Selain itu para remaja di sini juga mulai dikenalkan dengan menulis dengan berdirinya komunitas sastra. Tak ayal kebiasaan mereka menulis pun membuat mereka semakin mahir belajar menulis novel dan cerita pendek.
Kini, lima tahun berselang sejak didirikannya SALAM dengan jumlah anak yang kian bertambah, dirinya tidak berhenti beraktivitas. Seringkali dirinya terlibat proses belajar mengajar dan berbaur dengan anak-anak. “Saya ingin semua orang berhak mendapatkan kesempatan sekolah untuk kehidupan yang bisa langsung diterapkan dan tidak tecerabut dari akarnya,” ujarnya berharap.
keren ka, sangat inspiratif. tapi mbok ya di upload gambar sekolahnya biar lebih hidup gitu SALAM-nya... ^_^
BalasHapusnah itu dia don, aku gaptek apa blogspotnya yang eror sehingga tak muncul2 gambarnya hehe
BalasHapus:) diulang lagi aja mba upload foto'na
BalasHapus