Jumat, 10 Juli 2009
Tak Ada Kata Berhenti untuk Mengajar
Sisa hujan menyambut hangat di pelataran gang menuju Sekolah Darurat Kartini yang terletak di kawasan, Lodan, Ancol, Jakarta Utara. Sesekali terdengar desing kereta api yang melintas tepat di sebelah ruang belajar anak-anak. Sepintas seperti barak pengungsian, tetapi siapa mengira jika bangunan tersebut merupakan sekolah bagi anak-anak tidak mampu yang didirikan oleh sepasang ibu guru kembar Sri Irianingsih dan Sri Roosyati.
Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB lebih pertanda waktu makan bersama. Dua anak didaulat membagi-bagikan makanan dan diikuti oleh antrean anak-anak. Menu pagi itu ialah sayur kangkung dan telur dadar yang dimasak sendiri oleh anak-anak secara bergantian. Di antara kerumunan antrean terdapat sesosok ibu berusia setengah baya mengenakan blouse biru muda. Dialah Sri Irianingsih salah satu penggagas sekolah darurat Kartini yang saat itu sedang tidak ditemani saudara kembarnya Sri Roosyati, karena sedang persiapan acara keluarga.
Kasih sayang ibu kembar, Sri Roosyati dan Sri Irianingsih yang akrab disapa Rossy dan Rian ini, tidak bisa membiarkan anak-anak terlantar di jalan tanpa pendidikan memadai Keprihatinan yang mendalam tentang nasib anak-anak miskin komunitas perkampungan kumuh di kota besar seperti Jakarta. Kondisi tersebut telah mengusik jiwa dan raga ibu kembar untuk berbuat sesuatu yang nyata dan tidak sekadar teori.
Maka jadilah, sejak 10 tahun silam, perempuan kembar separuh baya dengan ciri khas rambut panjang diikat itu, mendirikan sekolah darurat. Seperti julukannya, sekolah ini pada awal dibangun pada tahun1990 dibangun di bawah kolong jalan layang tol di bilangan Jakarta Utara. Tetapi perlu diketahui jika proses pembelajaran sebelumnya sudah dimulai pada tahun 1972. “Waktu itu suami kami bertugas di pedalaman sehingga otomatis kami memulai di pedalaman,” ujar Rian.
Semua buat Anak-anak
Rian mengatakan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan ialah merupakan amanah dari keluarga besar untuk membantu masyarakat yang tidak mampu dengan jalan mengamalkan harta di jalur pendidikan. “Kebetulan background pendidikan saya waktu kuliah jurusan Psikolgi dan ibu Rossy jurusan FKIP, sehingga kami mantap bergelut di dunia pendidikan khususnya bagi anak putus sekolah dan tidak mendapatkan akses pendidikan formal,” ucap Rian.
Tidak tanggung-tanggung, perempuan kembar kelahiran Semarang, 4 Februari 1950 ini tak hanya menyelenggarakan layanan pendidikan gratis, tapi juga menyediakan perangkat sekolah dari mulai buku, makanan sampai pakaian seragam. Semua biaya yang keluarkan dirogoh dari kocek sendiri. ”Kita memang sudah sediakan anggaran khusus termasuk dari para donatur untuk anak-anak. Mereka dapat pendidikan yang setara dan tanpa dibebankan biaya sedikitpun,” Rian menuturkan.
Rian ingin sekali membudayakan pembelajaran di Indonesia karena pendidikan belum sampai menyentuh ke daerah-daerah atau anak-anak di kota yang tidak sekolah. Ada idiom yang mengatakan bangsa yang maju terlihat pada maju atau tidaknya pendidikan dan hingga kini belum ada pemerataan dalam hal pendidikan. “Awalnya kami hanya menjadikan kegiatan pembelajaran beberapa jam saja untuk menyelingi aktivitas lain, tapi dengan bergulirnya waktu lama kelamaan seluruh tenaga, pikiran dan materi yang kami punya untuk mengabdi pada anak-anak yang kurang mampu. Sekarang kami sudah benar-benar merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar lulusan Universitas Airlangga ini berpacu dengan suara riuh khas anak-anak.
Ketika disinggung mengenai materi pembelajaran, Rian menanggapi bahwa selama ini bahan pelajaran yang digunakan sesuai dengan buku yang berasal dari pemerintah, pun dengan kurikulumnya, yang membedakan ialah suplemen skill yang diberikan.
Selama ini diakui tidak ada bantuan yang signifikan berupa materi dari pemerintah pusat, apalagi untuk donatur tetap, paling-paling kemari saat peresmian saja. “Susah rasanya berharap banyak pada bantuan pemerintah yang selalu beralasan tidak ada Peraturan Pemerintah dan sebagainya,” keluh Rian yang punya hobi berenang ini.
Sekolah yang dibangun dengan petak tripleks itu didirikan dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama. Jumlah murid Sekolah Darurat Kartini kini mencapai ± 2000 murid, dari taman playgroup hingga SMU. Setiap angkatan biasanya terdiri dari 570 anak Bahkan mereka juga membuka kelas kursus keterampilan, ada kursus menjahit, merangkai kerajinan tangan serta memasak. Rencana ke depan juga akan dibangun poliklinik gratis untuk masyarakat.
Waktu awal berdiri di kolong jembatan muridnya hanya 10 anak dengan waktu belajar dua jam saja, kemudian berkembang menjadi setengah hari waktu belajar. Output yang sudah lulus tidak sedikit yang berhasi meraih cita-citanya. Ada yang bekerja sebagai TNI, wartawan, bergerak di bidang jasa seperti salon kecantikan, bahkan ada yang melanjutkan jenjang S2.
Tidak Jalan di Tempat
Lantas, siapa yang mengajar anak-anak di bawah jembatan itu. “Awalnya, tentu saja kami berdua. Tapi lama-kelamaan, banyak sukarelawan yang siap mendukung kami,” lanjutnya. Tak kenal lelah, setiap harinya, kecuali Minggu dan hari libur, Rossy bersama saudara kembarnya Rian, menghabiskan sebagian waktunya di sekolah itu dari pagi hingga siang berangkat dari kediamannya di Kelapa Gading. Keduanya juga menjadi pendidik. Rossy mengajar Bahasa Indonesia dan PPKn. Sedangkan Rian, psikolog lulusan Universitas Airlangga Surabaya, mengajarkan Matematika. Pengajarnya berasal dari alumni sekolah ini, mereka secara sukarelawan membantu ibu kembar mengajar. Setelah sekolah tersebut berstatus disamakan pada tahun 2000, Rossyi dan Rian juga memberikan penghargaan berupa tunjangan pada para pengajar.
Sekolah lbu kembar tidak pernah menamakannya sebagai yayasan ataupun sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di Jakarta, “Kartini” sekarang sudah mempunyai lima “cabang”, yaitu di bawah kolong jembatan Rawa Bebek, bawah jembatan Ancol, bawah jembatan Pluit, bawah jembatan Tambora, dan di pinggir rel kereta api Kampung Janis, Lodan. Kini setelah kurun waktu genap 30 tahun, tekad mereka pun kian mantap untuk terus mengajar. “Kami berharap agar sekolah terus bertahan dan tetap ada bagi mereka yang membutuhkan,” pungkas Rian mengakhiri cerita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ok tulisannya
BalasHapusMampir dong ke Situsku