Meski terletak di area Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara, agaknya tak membuat semangat anak-anak yang sekolah di ruangan sebesar kurang lebih 36 meter persegi ini surut. Sebaliknya, kondisi panas, kering dan bau tak sedap itu meneguhkan secercah harapan masa depan yang lebih indah.
Ruang kelas yang bersahaja dengan media belajar seadanya, siapa yang tidak mengais simpati. Apalagi anak-anak itu mengikuti pelajaran tanpa seragam laiknya anak-anak sebaya yang pada saat bersamaan juga tengah menempuh ujian semester di sekolah formal. Kehadiran dua orang tenaga pengajar mampu melegakan oase mereka pada ilmu pengetahuan yang belum lama ini mereka reguk. Bukan hanya pelajaran yang mereka dapatkan tapi bagaimana menghormati dan menghargai sesama. Perlakuan itu dibuktikan dengan mengucapkan salam dan pamit cium tangan pada pengajar mereka sebelum meninggalkan ruangan.
“Ayo waktunya sudah hampir habis, kalau yang sudah segera dikumpulkan dan jangan lupa diperiksa kembali,” ucap seorang tutor kepada anak-anak. Sepertinya tak ada beban lelah terpancar dari para pengajar yang meluangkan waktu untuk anak-anak meski mereka masih duduk di bangku kuliah. Menurut salah satu tutor, Nely Hartati, awalnya ia hanya mengisi waktu luang di sela kesibukan kuliah. Selain itu juga merasa prihatin pada anak-anak. “Saya bisa merasakan niat sekolah mereka sangat besar,” ungkap Nely saat ditemui usai mengajar.
Lantaran jumlah tutor terbatas, jadi Nely dan tutor lainnya dituntut untuk bisa menguasai semua materi pelajaran. Otomatis ia juga mengimbangi diri dengan ikut belajar agar bisa memberikan materi secara maskimal. Rupanya Nely mafhum benar bahwa cukup banyak kesan terasa, seperti ketika ia menghadapi anak-anak dengan karakter yang beragam, misalnya di kelas ada yang lari-larian dan lempar-lemparan kertas. “Tapi ya namanya juga anak-anak,” ujarnya seraya berharap agar anak-anak kian semangat belajar dan tentunya bisa menyerap materi yang telah diberikan.
Sesuai Keinginan Anak dan Orangtua
Setiap anak, jika ditanya satu per satu pasti punya cita-cita dan keinginan tinggi ketika beranjak dewasa, tidak ada yang ingin sama seperti orangtua mereka. Pastinya mereka ingin mengubah pola hidup agar lebih baik lagi dengan jalan belajar. Pernah ada anak yang baru masuk ketika ditanya mau jadi apa, dengan polos mereka menjawab menjadi presiden. "Kami hanya berusaha menggali apa yang jadi keinginan mereka," ujar Ketua Yayasan Lentera Bangsa , Saefudin Zuhri.
Beberapa tahun sebelumnya, Saefudin juga pernah membuka sekolah khusus anak pemulung di kolong jembatan, tetapi tak lama kemudian terbakar. Selama masa transisi itu pihaknya lantas beberapa kali menyusuri daerah di Muara Angke yang belum tersentuh pendidikan. Anak-anak tidak bersekolah dengan alasan macam-macam, mulai dari lokasi sekolah yang jauh, orangtua tidak mengizinkan sampai persoalan klasik: biaya.
Saefudin menuturkan bahwa hak anak untuk sekolah jelas termakhtub pada Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 32 ayat 1. Salah satu klausulnya memuat ihwal pendidikan khusus, diantaranya pendidikan khusus dan istimewa. Pendidikan khusus mengakomodir kebutuhan anak jalanan, di daerah perbatasan atau terpencil, anak pemulung, anak nelayan dan anak dengan kondisi tidak bisa sekolah.
Saefudin melihat bahwa kebutuhan belajar sangat penting untuk anak-anak yang tinggal di pinggir pantai utara Jakarta ini. Awalnya ia mendekati warga agar membolehkan anak mereka sekolah secara gratis. Pendekatan ini dirasa perlu karena ke depan, pihaknya pastilah melibatkan warga baik dari masalah administrasi hingga tenaga pengajar. Setelah mengantongi izin operasional dari pengurus warga setempat, Saefudin pun mantap mendirikan pendidikan layanan khusus anak nelayan di bawah naungan Yayasan Lentera Bangsa (YLB).
Sekolah berdiri sudah hampir tiga tahun, mulai dari jenjang Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), ada rencana juga membuat jenjang sekolah menengah. Mereka tak sekadar mendapat pelajaran, tetapi juga buku, peralatan tulis, makanan dan snack. Sebagian besar dari mereka, kata Saefudin, banyak yang enggan belajar di sekolah umum lantaran mereka tidak pakai seragam dan sepatu. “Belum lagi kalau dipalakin, padahal mereka tak ada uang,” ucapnya. Nah, ternyata mereka bukan hanya butuh belajar, tapi juga kenyamanan yang tak mereka temukan di sekolah lain. Mulai dari kebebasan waktu belajar dan tanpa paksaan atau tekanan. “Ada kesepakatan antar-orangtua kapan waktu yang tepat untuk belajar dan membantu pekerjaan orangtua,” ujar Pria asli Sumatra ini. Pihaknya pun melibatkan beberapa warga untuk membantu mediasi kepada warga yang lain. Total keseluruhan ada 150 anak yang terdata.
Kurikulum pembelajaran yang diberikan mengacu pada kurikulum nasional. Ketika disinggung perihal suplemen skill bagi anak, ia mengatakan bahwa jika mengacu pada pedoman pendidikan khusus memang 20 persen teori dan 80 persen sifatnya skill. “Nah kita belum punya modal cukup untuk menuju yang 80 persen itu,” ucapnya.
Semua Anak Berhak Dapat Pendidikan
Perhatian pemerintah diwujudkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) baik dalam bentuk finansial maupun sarana belajar. Sayangnya, niat Saefudin bertepuk sebelah tangan alias tidak begitu saja direspon oleh dinas pendidikan dan Pemerintah Daerah Khusus Jakarta setempat yang sampai saat ini belum memberi perhatian signifikan bagi kemajuan sekolah. “Jangankan berupa bantuan nyata, kunjungan saja belum pernah kecuali saat peresmian,” ungkapnya. Jujur, lanjut Sefudin, dirinya sering merasa apa yang dilakukan kurang berjalan seperti apa yang diharapkan. Waktu yang dipakai lebih banyak terbuang untuk mencari dana operasional sekolah.
Saefudin dan Yayasan yang dikeolanya selama ini memegang konsep pendidikan berpihak pada masyarakat, atau sekolah gratis total. Selama ini dana didapatkan dari para donatur. Meski demikian, kondisi tersebut tak menyurutkan langkah Saefudin beserta tenaga pengajarnya untuk berhenti. “Kami punya niat saling membantu, kebetulan kami punya keinginan dan waktu untuk mewujudkannya,” ujarnya optimis.
Ia pun menyadari jika pendidikan adalah hak semua warga negara. "Nah yang wajib membiayai kegiatan belajar ya pemerintah. Namun, Pada kenyataannya pendidikan saja luput dari perhatian, bagaimana dengan persoalan yang lain," ujarnya risau. Dirinya mengharapkan jangan hanya pemerintah pusat yang punya sense untuk memerhatikan, tapi seluruh elemen terkait. “Kami tak bisa menyalahkan siapa-siapa, kalau tidak sesuai dengan keinginan kami," tambahnya.
Apapun Kondisinya Tetap Belajar
Kondisi yang dirasakan Saefudin sejalan dnegan hambatan yang tidak sedikit. Awalnya jelas, dimulai dari kondisi masyarakat pastinya, belum lagi kesadaran orangtua yang masih relatif sulit karena anak-anak juga diminta membantu mereka bekerja. Padahal kalau dilihat dari sisi anak, mereka memberikan respon yang menyenangkan dan semangat belajar. “Prinsip kami sih, berapa pun anak yang datang tiap harinya tetap ada kegiatan belajar,” ujarnya.
Enam tahun sudah Saefudin bergelut dengan pendidikan layanan khusus, mulai dari pemulung, anak jalanan dan sekarang anak nelayan. Harapan terlantun dari lubuk hatinya agarc anak-anak tetap bersekolah bagaimana pun keadaan mereka. Yang lebih penting, menurutnya, jangan membeda-bedakan darimana pun mereka berasal mulai dari perumahan mewah, anak jalanan sampai pinggir pantai. Selain itu, Saefudin juga masih punya anganan agar pemda setempat turut andil. Rencana ke depan memperbaiki ruang kelas, melengkapi sarana dan media pembelajaran juga alat tulisnya. “Siapa sih yang tidak ingin menjadikan sekolah ini lebih baik,” ujarnya diselingi dengan tawa.
Rasanya tak sia-sia menunggu lama karena Saefudin dan para tutor begitu bersemangat dalam menceritkan pengalaman mereka. Sebotol minuman dingin pun tak terasa telah habis seiring berakhirnya obrolan kami di pagi hari yang cerah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar