Rabu, 11 November 2009
Geliat Student Center: Pers Mahasiswa Nir Ruang Publik
Pers mahasiswa nyaris selalu terlibat dalam denyut perjuangan bangsa sejak zaman kolonial Belanda hingga masa Reformasi 1998. Mengambil peran sebagai 'pers alternatif', pers mahasiswa membangun jaringan dan mengorganisir gerakan mahasiswa. Sejarah mencatat, pers mahasiswa dengan berani melakukan perlawanan-perlawanan. Saat rezim Orde Baru berhasil membuat pers umum takut akan ancaman diberangus, pers mahasiswa tampil menjadi corong perjuangan. Ia menyajikan berita-berita alternatif, kritis, jujur, lugas dan berani, tanpa takut ditutup. Dengan daya tawar tersebut, pers mahasiswa ditunggu oleh mereka yang bosan dijejali pemberitaan pers umum yang gagap dan penuh kehati-hatian.
Perlawanan kaum muda ini tak pernah surut meski harus menghadapi tekanan penguasa, juga di era Orde Baru. Pada tahun 1980-an, Amir Daulay dan teman-temannya di Universitas Nasional Jakarta mendirikan Politika dengan semangat perlawanan, karena pascaMalari 1974, hampir semua elemen gerakan mahasiswa tiarap. Pemerintah giat memberangus gerakan mahasiswa, terutama yang kritis terhadap kebijakannya. Kondisi makin parah dengan pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Aktivitas politik mahasiswa dimandulkan.
Melihat kenyataan di atas, muncul pertanyaan, mampukah media yang dihasilkan oleh pers mahasiswa tetap menjadi bacaan alternatif bagi pembacanya? Mampukah mereka bersaing dengan media umum yang mempunyai nilai lebih, baik dari pemberitaan, perwajahan serta finansial.
Pertanyaan demi pertanyaan tersebut hingga kini - bahkan sudah 10 tahun reformasi- belum tuntas terjawab, aktivitas mahasiswa khususnya aktivis persma perlahan mulai memasuki babak baru. Ya, sebuah bentuk represifitas dalam kemasan berbeda. Jika di era NKK/BKK pemerintah memberangus kreativitas mahasiswa secara otoriter, di era paskareformasi justru memilih strategi lain. Strategi Student Center (SC), nyaris di beberapa perguruan tinggi sudah dan sedang berencana menerapkan.
Secara fungsional, SC dimaksudkan untuk memusatkan segala aktivitas yang melibatkan mahasiswa. Oleh para mahasiswa, kehadiran SC dianggap mengubah suasana kampus menjadi tidak bergairah. Jika dalam kurun waktu tiga tahun lalu sekretariat mahasiswa tanpa simbol SC menjadi tempat unit-unit kegiatan mahasiswa, namun sekarang aktivitas mahasiswa termasuk pers mahasiswa mulai mengalami kemunduran.
Sejalan dengan maksud SC didirikan, konsekuensi yang mengiringya ialah tidak terdapat lagi ruang publik bagi mahasiswa. Filsuf Jerman kontemporer Jurgen Habermas mengatakan, suatu komunitas masyarakat sejatinya memiliki ruang publik, sarana untuk mengekspresikan pendapat dan aspirasi. Sebab, bangunan ruang publik bukan hanya sebuah bangunan bagi institusi negara.
Institusi negara dalam konteks ini ialah rektorat yang menjalankan roda manajemen perguruan tinggi. Sungguh kontradiktif, jika ekspresi mahasiswa difasilitasi melalui SC yang notebene menegasikan ruang publik atau ruang yang bisa diakses oleh masyarakat sekitar. Ruang eksklusif yang menjadikan aktivitas mahasiswa termasuk persma tak ubahnya ‘robot’ yang tak diberikan pilihan lain kecuali mengikuti rule of the game dari sang pemilik institusi.
Catatan lain mengenai metafora SC juga disajikan Pramoedya Ananta Toer dalam bab-bab awal Rumah Kaca (1988). Dirawikan bagaimana tokoh Pangemanan, tokoh antagonis dalam novel itu dengan ucapannya yang berbisa. “Bukankah sudah jelas. Pitung-pitung modern yang mengusik-usik kenyamanan Gubernemen - semua telah dan akan kutempatkan dalam rumah kaca yang kuletakkan dalam meja kerjaku. Segalanya menjadi jelas terlihat. Hindia Belanda tidak boleh berubah - harus dilestarikan.”
Jika kenyataannya seperti itu maka simpan saja setumpuk ‘Pekerjaan Rumah’ seperti yang disebutkan di atas. Mengenai eksistensi persma menjadi media alternatif yang kritis dan independen tampaknya masih jauh panggang dari api. Bagaimana bisa menuju kesana, jika medium para aktivitasnya dibelenggu melalui SC?. Impact-nya cukup jelas, mahasiswa hanya bisa diakses oleh sang pemilik institusi, bukan oleh masyarakat luas. Lantas seperti apa solusinya?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar