Senin, 23 November 2009
Ngayogjazz 2009: Java Today with Jazz
Tadinya saya sanksi dengan musim yang tak bisa ditebak. Jadi niat saya untuk menyaksikan perhelatan Ngayogjazz yang digelar kali setahun (ini adalah tahun ketiga), hanya terpendam dalam angan. Sampai akhirnya aku diingatkan olehnya, kalau sabtu malam ada pertunjukan jazz di Pasar Seni Gabusan (PSG), Bantul. “Oke kita lihat saja nanti, cuaca sedang bersahabat atau tidak, minimal guyuran hujan tidak terlalu deras dan lama, “ ujarku setengah yakin.
Hari yang ditunggu pun tiba. Saat melintasi jalan ring road, awan belum hitam. Menjelang kampus seni, tiba-tiba gerimis kecil-kecil menyapa kami. Tanpa pikir panjang, kami pun lantas mencari tempat teduh: angkringan. Yah, tempat paling asyik buat berteduh emang di angkringan sambil ngeteh panas. Untung saja di sekitar PSG ada angkringan yang enak.
Di antara deretan mobil lawas keluaran tahun 1940-an, alunan musik jazz mengalun. Mulai dari saksephone, keyboard besahut-sahutan dengan gerimis yang tak melunturkan antusiasme penonton yang datang. Lagu slow yang dibawakan komunitas jazz Jogjakarta, David Manuhutu dan Kemayoran malah membuat penonton turut menggerakan tubuh pertanda menikmati.
Tak terasa sudah satu jam berada di Basiyo stage, kami –tentu juga penonton lain pun diarak menuju stage selanjutnya yakni condrolukito stage seraya diarak dengan kelompok hadrah aki-aki dan nini-nini. Setelah itu penonton disambut duo pembawa acara gayeng lusi laksita dan anang yang mengantar kami menyaksikan I Wayan Sadra dan Sonosini ensamble dari Bali, diteruskan oleh kelompok jazz asal Malaysia, Albert Yap & BassGroove 100. Tak lama kemudian. Philosophy (Bintang Indrianto, Arief Setyadi dan Gerry Herb).
Sayang, karena terbatasnya jam malam di kost, menghalangi saya menonton pertunjukan selanjutnya. Padahal, menurut leafleat yang saya bawa, penonton akan dibawa ke panggung selanjutnya yakni Kusbini Stage. Disitulah ‘ruh’ jazz –menurut saya- mulai kena, saat Kuaetnika, Dwiki Darmawan, Dewa Baudjana dan Tilung memberi suguhan berwarna. Belum lagi pamungkas acara digenapi oleh kelompok musisi jazz asal Austria, Harri Stojka & Claudius Jelinek dan srikandi jazz Syaharani.
Performa mereka begitu memukau, benar-benar kolaborasi yang membuat saya berdecak. Gabungan musik elitis dan kesenian tradisional. Saya yakin,kalau event seperti ini sering digelar, bukan tak mungkin musik jazz bisa sejajar populernya dengan genre musik lain. Dan bukan tak mungkin pula digemari oleh lapisan usia atau bahkan sering diputar di pusat-pusat keramaian.
Jujur, saya sendiri juga bukan penikmat musik jazz. Selain karena aroma liriknya yang tak membumi, syairnya pun tak jarang menggunakan bahasa inggris. Ditambah lagi istilah-istilah jazz yang sama sekali tak karib di telinga saya. Sebut saja, Blues, Ragtime, Swing, Bepop, Hardpop, Beat, Sinkopasi dan masih banyak lagi.
Ibaratnya, saya sedang memasuki fase baru, mengenal apa itu musik jazz. Wajar saja, sebab yang selama ini ada di mindset saya adalah musik jazz itu hanya milik dan dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu. Sebab, untuk nonton pertunjukkannya saja, tak jarang penonton merogoh kocek yang tak sedikit. Padahal, kalau menengok sekilas sejarahnya musik jazz sebagai musik klasiknya Amerika, telah menjadi melting pot dari berbagai tradisi musik.
Nah, kalau formulasi musik jazz membaur alias njajah desa seperti acara yang saya tonton, rasanya saya berpikir dua kali untuk tidak nonton. Sayang sekali bukan, kalau dilewatkan belum lagi tanpa dipungut tiket masuk a.k.a free :D.
Finally, ada banyak cara untuk memainkan musik jazz dan bagaimana para musisi memainkannya. Temasuk konsep jazz di desa yang diprakarsai seniman-seniman jogja bertajuk Ngayogjazz. Apalagi budaya masyarakat Bantul pun berakar pada kebudayaan Jawa (Mataram), dengan dinamikanya. Saya melihat begitu terbukanya otang-orang Bantul dengan nilai-nilai baru dan akrab dengan tradisi baru sebagai respon perkembangan zaman. Tak heran jika ada ungkapan: Bantul, Java today.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar