Kamis, 27 Mei 2010

Bisakah Berdamai dengan Bahasa: terinspirasi dari Diskusi GI


Sore hari yang mendung di pelataran kampus UNY, gurat semangat tampak di wajah mereka, utamanya sang pemantik, Dian. Ya Gender Institute (GI) hari ini, Rabu 26 Mei 2010 giliran Dian yang membawa kita dalam sebuah perbincangan santai bertajuk “Bahasa dan Gender”. Kami pun tidak sabar ingin segera menyimak apa yang hendak disampaikan.

Bahasa mengandung bias gender, demikian pembukanya. Sudah akrab di telinga penyebutan bahasa seperti istilah atau sebutan yang tak ramah di telinga. Misalnya pelabelan negatif untuk menyebut istilah pelacur menjadi wanita tuna susila. Terkesan bahwa pekerjaan pelacur mutlak milik perempuan, sementar untuk laki-laki melakukan hal yang sama mendapat predikat yang tidak ada embel-embelnya laki-laki.
Tidak hanya sebutan itu masih ada pelabelan lain yang mendikotomi antara maskulin dan feminin, seperti penyebutan ratu adil, raja judi, Mr. President, First Lady, jago gambar dan lain-lain.

Selain itu soal nama juga kerap mengikuti pihak laki-laki, misalnya nama anak-anak perempuan ketika lahir sudah membawa nama sang ayah pun dengan perempuan yang menikah ditambah nama suami di belakang.

Yah berbicara bahasa memang rumit kawan, diskusi ini juga tak hendak menggugat keberadaan dan perbedaan sifat maskulin dan feminin, tetapi kami mencoba mencari penyebab mengapa bahasa yang bias gender tersebut dan meski berbeda tetapi juga memiliki hak dan kesetaraan yang sama pula.

Bila menurut sejarah, ketika dunia ini belumlah ramah, masih banyak binatang buas dan juga musuh-musuh, andalan laki-laki yakni otot dipercaya untuk mengatasi gangguan-gangguan tersebut. Sementara perempuan lebih pada mengolah hasil buruan dan mengasuh anak. Otomatis eksistensi laki-laki meruah ketika dia dipercaya bisa menjaga dan melindungi, bisa dikatakan meski ini tak mutlak, rasa superior pun mulai tumbuh.

Dan kini, ketika zaman sudah berubah, dunia menjadi relatif aman perempuan pun mampu melindungi diri sendiri, keberadaan laki-laki tergeser. Sementara insting menjaga dan melindungi pun masih melekat kuat, tak ayal jika laki-laki ingin tetap mempertahankan eksistensi mereka.

Hal itu tidak berlangsung di ranah kehidupan keluarga dan publik saja, seperti misalnya dunia pendidikan, kerja, politiik, dan lain-lain tetapi juga ranah bahasa yang memiliki kekuatan hegemoni cukup signifikan. Bagaimana tidak, sejak kecil (sekolah dasar) kita sudah menerima bacaan khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan kalimat yang seksis seperti: Ibu memasak di dapur, Ayah membaca Koran, Kakak perempuan menyapu lantai, adik laki-laki memanjat pohon dan lain sebagainya.

Untuk itu, menurut saya gerakan tak cukup sekadar ajakan atau propaganda melakukan aksi atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Salah satu jalan ya melalu bahasa. Ya bahasa, banyak hal bisa kita sampaikan lewat bahasa. Seperti halnya buku contoh buku bacaan di atas tadi, kita pun bisa melakukan hal yang sama tentu setelah kita memasuki bidang-bidang yang dimaksud.

Tak mudah memang coba berdamai dengan bahasa baru yang kita usung, tapi sepert halnya bajasa yang mengalami ketimpangan-ketimpangan seperti di atas, apakah ketika pertama dihadirkan tidak butuh proses. Pun dengan perubahan-perubahan yang terkait dengan bahasa. Bisakah kita coba berdamai, sebab meski secara artifisial berubah jika semangatnya masih tetap seksis, sama saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar