Kamis, 06 Mei 2010

Sekali (lagi) tentang cita-cita



Empat tahun sudah, jalinan kisah pasca memasuki dunia sesungguhnya telah kugenggam. Namun mengapa di genggaman tangan ini seperti mengendur? Terlebih saat aku mampir ke warung makan langganan saat kuliah, mengamati para mahasiswa yang tengah larut membincangkan tugas kuliah seraya melahap ayam goreng atau minum segelas es teh.

Aku jadi mellow melihat mereka, anganku terusik, ambisiku menggedor-gedor minta diperhatikan. Sementara aku masih berpijak tak bisa kemana-mana. Duluuu sekali aku ingat saat pertama kali ayah dan ibu melepasku kuliah di Jogja –sebuah pilihan yang aku tentukan sendiri- secara lugas mengatakan bahwa mereka hanya mampu membiayaiku sampai gerbang sarjana, tak lebih. “Kalau mau lanjut ya kamu harus kerja dulu,” ujar Ibu mantap.

Yah aku harus kerja dulu, empat tahun sudah aku mengupayakan kemandirian menjadi perantau, ditambah masa kuliah, sudah genap 9 tahun aku di kota gudeg ini. Sungguh bukan waktu yang sebentar. Dalam kurun waktu itu aku sering tak konsisten dalam bercita-cita karena kerap menemukan hal baru, hal yang menantang dan membuatku penasaran.

Aku pernah bercita-cita guru waktu kali pertama aku menginjakkan kampus hijau, tempatku kuliah. Setiap hari aku membiasakan diri bergaya ala guru, memakai kerudung persegi, rok panjang dan blouse warna segar. Aku ingin menjadi guru yang dekat dengan muridnya, guru apapun itu di sekolah maupun di masyarakat. Aku ingin memberikan banyak pengetahuan yang telah aku dapatkan selama kuliah. Ingin berbagi mengenai pengalaman-pengalaman hidup.

Namun cita-cita itu menguap begitu saja, sejak aku menggeluti dunia pers mahasiswa bernama LPM EKSPRESI. Sebuah kawah candradimuka –waktu itu- semoga sampai sekarang yang berhasil ‘mendidik’ anggotanya. Aku melihat sosok-sosok hebat di sana, yang tak pernah kutemui sebelumnya. Ada yang pintar dan cerdas menulis, jago liputan, gape berorasi, militan dalam beraksi dan keahlian-keahlian lainnya. Tiba-tiba aku mengganti cita-citaku, aku ingin bisa menulis, liputan, aksi dan aktif di lembaga masyarakat. Betapa serakahnya aku saat itu, haus ilmu tanya sana-sini tentang banyak hal yang ingin ku pelajari.

Yah, aku juga tertarik dengan wacana feminisme, tapi aku tak ingin dibilang seperti apa yang kawan-kawan bilang tentang feminisme. Aku masih jauh dari aktivis, aku hanya belajar. Dan salah satu jalan akhirnya aku nyemplung di pusat studi wanita kampus. Dengan begitu aku jadi semakin banyak tahu dunia perempuan dan segala pernak-perniknya sampai mendirikan Komunitas Studi Perempuan (KSP) bersama anak-anak EKSPRESI. Sayang kini sudah tak aktif lagi.

Keasyikanku pada dunia itu tak berlangsung lama sekitar 9 bulan, sebab ada kesempatan untuk merantau ke kota lain. Yup menjadi wartawan pemula sebuah surat kabar nasional terbesar di Surabaya. Bayanganku sungguh indah, apalagi aku tidak sendiri, ada Dita sahabat berproses di EKSPRESI yang juga dapat kesempatan sama. Aku mulai menikmati hari-hariku sebagai wartawan dengan segala aktivitas yang menegasikan waktu personalku.

Tak ada lagi diskusi-diskusi segar seperti dulu, bahkan waktu panjang sekadar membaca buku incaran. Yang ada hanya keluhan-keluhan berita yang tidak dimuat, kesulitan mendekati narasumber dan hal-hal teknis lainnya. Rasanya seperti ada ruang yang kosong dan hampa. Dalam hatiku berujar, sepertinya aku tidak ingin berlama-lama begini. Masih banyak celah untuk beraktualisasi bukan?

Di tengah kebimbangan atau yang biasa anak-anak EKSPRESI katakan “disorientasi” seorang kawan, K’Mon biasa aku memanggilnya, kakak angkatan di EKSPRESI tiba-tiba memberi informasi bahwa sebuah perusahan di bidang penerbitan majalah yang baru meminta staf dari UNY, dan menawarkan padaku apakah aku tertarik.

Aku bergumam, “ini kesempatan bagus kenapa tidak dicoba, menjadi bagian dari perusahaan yang masih embrio, ini tantangan,” dan tanpa tedeng aling-aling aku menyanggupi. Yah benar-benar dari awal, mulai merumuskan sampai membuat branding sebuah majalah. Bukan pekerjaan yang mudah meski terbit sekali sebulan, sebab ini majalah baru dan banyak orang belum tahu.

Tapi aku sungguh bersyukur, punya waktu luang banyak, bisa membaca sekehendak hati, nulis blog yang gak karu-karuan bahasanya, nekat kirimin tulisan ke media, belajar jurnalistik (lagi), punya komunitas diskusi, sempat main-main ke rumah cinta sampai sudah berganti rupa, jalan bareng teman-teman dan banyak hal yang bisa aku lakukan, termasuk menerima tantangan menulis dari kawan-kawan. Buat Mas Umar, Mas Rodhi dan Jenk Fenita, terima kasih kesempatan dan kepercayaan untuk melahirkan karya. Jadi tak sabar rasanya menunggu untuk menyentuh. Dan yang terbaru ialah coba membuka butik kerudung handmade kecil-kecilan bersama teman-teman kost (benar-benar unpredictable).

Ternyata pilihanku membuahkan banyak hal-hal di luar dugaanku dan seolah menguapkan angananku untuk melanjutkan studi. Tapi hanya sementara, sebab seperti di kalimat awal dikatakan, bahwa aku harus bekerja keras dulu kalau mau sekolah lagi. Kini aku aku masih ingin terus berjuang dan kerja keras untuk menggenapkan impianku, yah studi membutuhkan dana yang tidak sedikit, sementara aku juga bisa dibilang tak cukup cerdas meraih scholarship. Pilihannya adalah belajar, bekerja dan berdoa sungguh-sungguh, meski hal itu masih akan sangat lama terwujud.

Well, cerita di atas bukan bermaksud narsis atau sejenisnya. Hanya ingin berbagi melepas gundah. Ketika secara wujud amat sangat sulit kita bertemu, sekadar melingkarkan duduk di Felix, mi ayam Santika, Laris, Selaras dan banyak tempat yang pernah kita kunjungi. “Tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran,” demikian ungkap nufus dan iswara di salah satu status FB-nya.

Melalui tulisan ini aku juga menyemat harap pada kawan-kawan untuk tak berhenti mengejar cita-cita apapun itu, jikalau terbentur oleh kenyataans, percayalah jika itu hanya sementara. Akan ada jalan lain, jalan yang tak pernah kita duga dan ternyata jalan itu menuntun kita pada cita-cita. Cita-cita itu bukan hanya untuk disimpan di dalam angan-angan, tetapi untuk diperjuangkan menjadi kenyataan.

Pun ketika kita merasa cita-cita kita telah terwujud, tanamkan dalam hati bahwa cita-cita kita yang terwujud baru separuh. Dengan demikian kita tak akan pernah berhenti berkarya dan berbuat. Yeah, semua orang pasti punya cita-cita, tidak selalu 100 persen terwujud tapi bagaimana kita menghadapinya……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar