
Pagi tadi entah kenapa, aku teringat salah satu lembar memori yang sudah berlalu. Mungkinkah karena orang yang ada dalam memoriku itu menjadi salah satu teman di jejaring sosialku atau karena dia dekat dengan salah seorang kawanku. Rasanya seperti sedang mengumpulkan helai demi helai karet gelang sampai besar, tapi sekali dilepas helai karet yang lain akan mudah dilepas juga.
Aku mengenalnya belum lama, sekitar 2 warsa yang lalu, sungguh pertama kali kenal tak ada alasan untuk tidak karib dengannya. Dia mudah sekali ramah pada siapapun yang baru dikenalnya. Kira-kira seperti itulah kesanku padanya. Aku seperti menemukan sosok yang bisa membuatku tersenyum dan tertawa tiap hari di tengah kejaran pekerjaan.
Darinya, secara tak langsung aku juga belajar arti kebersamaan dan bagaimana bertahan dengan segala hal yang datang silih berganti. Pun dengan dia yang selalu tak pernah habisnya bercerita ihwal sang kekasih setianya. Aku selalu menjadi pendengar yang baik untuk semua keluh kesahnya, aku senang karena artinya ia percaya padaku.
Saat itu aku berpikir, mungkinkah ini bisa bertahan lama? Sayangnya tidak, aku yang sudah terlanjur berharap lebih padanya, ternyata mendapat kepahitan yang teramat, melebihi ketika aku menenggak jamu nafsu makan atau pelangsing.
Sejatinya aku juga tak mau menuliskan bagaimana ia meluluhlantakkan hatiku, membuatku tak bisa melakukan aktivitas seperti biasa, membuatku 'melarikan' diri ke tempat yang sepi dan membuatku akhirnya berjarak darinya. Aku menyadari tak baik menyimpan luka ini terus menerus dan mempertahankan ego untuk mendapat satu permintaan penyesalan yang hingga detik ini tak kunjung aku dapatkan.
Biar saja memori ini seperti kertas lipat origami yang pernah seorang kawan ajarkan padaku, memori itu tetap ada meski telipat menjadi sebuah bentuk bernama keikhlasan.
gambar dipinjam dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar