Jumat, 12 Juli 2013

Prambanan, Bukti Cinta

Keluarga Tangerang datang nengok Attar, ada Mbahkung, Mbah Uti, Bule Dwi dan dek Iam, yeaay, itu artinya kita pasti jalan-jalan, gak asyik kalau mereka datang gak diajak jalan-jalan kaan, apalagi banyak tempat yang ternyata belum dikunjungi. Dan destinasi kali ini adalah hari Jumat 10 Mei ke Candi Prambanan dan Sabtu 11 Mei ke Pantai Indrayanti Gunungkidul.

So exciting, setelah kurang lebih 15 tahun akhirnya menjejak kembali sebuah bangunan megah nan bersejarah, yang dibangun kisaran awal abad ke-9. Yap Candi Prambanan yang konon dibangun karena rasa cinta yang demikian besar antara Bandung Bandawasa dan Loro Jonggrang. Dibangun hanya dalam satu malam dan berakhir roman. Meski demikian bangunan yang sedang dipugar ini telah menjadi saksi yang sampai sekarang bisa kita kagumi keindahan dan kemegahannya.

Mbahkung dan kedua cucu lelakinya 

Agar lebih mengenal betapa Candi Prambanan mempunya arti penting bagi peradaban di Indonesia, demikian info dari WikipediaBeberapa sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.

Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa') atauSiwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa'). Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan anumerta beliau.Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan perubahan nama dialek bahasa Jawa dari "Para Brahman", yang mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana.

Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta Brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.




Berpose dulu di gerbang masuk candi utama




Prambanan dan sarungisasi

Lihatlah, pengunjung termasuk keluarga saya semua memakai sarung, ada apa ya? Yup di Prambanan sedanga da program sarungisasi untuk merawat warisan budaya agar tiak terlupakan, Uniknya ada perbedaan cara memakai sarung, untuk perempuan diikat di sebelah kiri dan untuk laki-laki di sebelah kanan. 

So, bagi yang sedang berlibur ke Jogja, sempatkan mampir di destinasi wisata yang memorable ini, datang dan nikmati mahakarya seni ini bersama keluarga, teman atau pasangan. Eh jadi teringat sebuah mitos, bahwa katanya jika sepasang kekasih mendatangi Candi Prambanan, hubungan percintaan mereka tidak bisa langgeng, entah mengapa mitos ini dibenarkan oleh banyak teman-teman saya yang mengalami. Well, urusan cinta tak bisa dikomparasi dengan kedatangn kita ke Candi Prambanan kan :)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar