Sabtu, 24 Agustus 2013

Ketika Dunia Maya Perlu Dimaklumi

Perbincangan ihwal positioning antara dunia maya dan dunia nyata sejak era informasi dan jejaring sosial mulai diperkenalkan hingga kini tak ada habisnya. Selalu saja ada sisi-sisi menarik yang menggelitik untuk dibicarakan, disimak atau bahkan diperdebatkan.

Ya, dunia yang teramat dekat dengan keseharian, bahkan ada joke sindirian bagi peselancar dunia maya bahwa: Jejaring sosial mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Mungkin karena hampir tak ada bedanya menafsirkan kedua dunia ini. Satu yang membedakan satu tampak yang satu tak nampak.

Terlebih semakin heterogennya pertemanan di social media dimana kita berinteraksi secara intens melalui posting atau kicauan baik itu forum umum atau grup khusus, tentunya akan semakin bertambah warna. Semakin banyak kita menyetujui permintaan pertemanan atau mem-follow akan semakin banyak hal-hal baru atau tak dimungkiri "lebay" bagi kita.

Sah-sah saja ketika seseorang membagikan status atau foto atau apapun di sosial media. Pemilik akun adalah orang yang paling berisiko menerima segala macam tudingan atau anggapan dari "teman-teman" lain, dan tak bisa mengatur hal-hal itu. Jika dikomparasi dengan dunia nyata itu sama saja.

Coba deh kita misalnya ketemu suatu komunitas nyata atau bahkan sekadar jalan-jalan bareng bertemu teman, relasi atau kerabat. Apa yang diperbincangkan? Aktivitas pasti kan, pun dengan ketertarikan-ketertarikan pada suatu hal. Nah, ternyata sama saja kan kalau bersua teman-teman di dunia maya, mereka bicara bukan melalui tataran verbal melainkan visual, melalui tulisan dan gambar.

IMHO, pada akhirnya kembalilah ke tujuan social media dibentuk apa. Selain kita punya hak untuk "memperlakukan" akun kita dengan hal-hal apa saja sebagai bentuk aktualisasi dan eksistensi, ada yang sering terlupa yaitu soal norma. Ya, norma tak hanya berlaku di dunia nyata, pun di dunia maya. Bagaimana kita belajar untuk bersosial media yang tepat sasaran dan belajar mematuhi "peraturan tidak tertulis" di social media. 

Bagi saya pribadi kita hanya perlu sebuah permakluman yang akan membuat kita nyaman mau apapun yang kita temukan di dunia maya yang kita tidak tahu kenyataan yang sejatinya. Semakin kita membaca dan semakin kita mengenal serta berinteraksi dengan banyak orang dengan beragam pola pikir, kita pun akan maklum jika ternyata apa yang kita inginkan dengan pilihan yang kita tempuh berbeda dengan orang lain. Bahkan, kita pun akan maklum terhadap pilihan orang lain, meski harus meredam "rasa tersinggung".

Seperti yang dinukil dari literatur Ilmu Sosiologi, suatu prmeis fundamental dalam sosiologi adalah bahwa segala makhluk merupakan makhluk sosial, sedangkan dasar kehidupan bersama dari mnausia adalah komunikasi, terutama simbol sebagai kunci dalam memahami kehidupan sosial manusia.

George Herbert Mead mengatakan: "Manusia mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak-pihak lain, dengan perantara lambang atau simbol tertentu yang dimiliki bersama. Mead menyatakan bahwa lambang-lambang, terutama bahasa tidak hanya merupakan sarana untuk mengadakan komunikasi antar pribadi, tetapi juga berpikir. Dengan cara demikian seseorang menyesuaikan perlakunya dengan perilaku lain.

Ihwal niat seseorang untuk apapun itu baik yang dianggap negatif atau positif yang saya pahami itu adalah hal yang sifatnya vertikal. Pada muaranya akan kembali ke individu masing-masing yang punya standar bagi dirinya -yang berbeda antara satu dengan yang lainnya- Mana yang sekiranya perlu di publish mana yang cukup jadi konsumsi personal. Pun dengan segala risiko dari orang-orang yang tentunya akan sangat beragam. Like or dislike sudah jadi fenomena yang lazim tak ubahnya di dunia nyata.


Jogja, 24 Agustus 2013


1 komentar:

  1. Enaknya di dunia maya itu ketika ga nyaman dengan seseorang tinggal unfriend atau unfollow, repotnya kalau kenal di dunia nyata *galau

    BalasHapus