Sabtu, 08 Agustus 2015

Harga yang Harus Dibayar Atas Nama Mimpi......

 Duluu sekali ketika status ini masih seorang diri, bekerja di sebuah media adalah impian yang ada dalam hati. Meski latar belakang bukan jurnalistik, tetapi sejak mengenal lembaga pers kampus ketertarikan menjadi jurnalis semakin kuat.

Satu hal soal mimpi adalah bisa bekerja di sebuah media yang dekat dengan saya, dekat dengan keseharian saya. Seorang perempuan dengan segala pernak-perniknya, life style, kehidupan yang bewarna yang terkadang penuh dengan perasaan sensi. Menuliskan dalam bentuk berita atau artikel tentulah sangat menyenangkan.

Sampai kemudian mimpi itu mengendap jauh, mencoba realistis bahwa memang tak mudah memang masuk ke media perempuan yang sudah settle seperti dua majalah besar di Indonesia. Coba memasuki jejak media yang sekiranya sanggup dijalani, sampai akhirnya bisa ikut melahirkan sebuah media baru di Jogja. Rasanya mimpi itu semakin jauh, tak kuingat lagi.

Waktu pun lama berlalu, fase kehidupan berganti, status berubah, kegiatan berganti. Aku yang tak pernah membayangkan terjun ke dunia kuliner tetiba jadi punya keberanian untuk wirausaha kuliner. Kehidupan menjadi berubah saat kelahiran anak laki-laki, rasanya saat itu semakin menggenapi kebahagiaaan, tak terbayang kelak ke depan mau jadi apa dan bagaimana. 

Sampai pada suatu titik, satu momen yang membuat semuanya seperti kembali ke awal. Seperti terlahir kembali. Sebuah pilihan hidup yang aku yakini aku akan baik-baik saja jika memilihnya. Sebuah pilihan hidup yang akan menuai pro dan kontra.

Memutuskan untuk bekerja pindah kota demi mimpi yang dulu pernah mengendap. Ketika tawaran itu datang rasanya tak lagi berpikir panjang karena katanya kesempatan tak pernah datang dua kali, meski kadang kesempatan itu tak pernah datang tepat pada waktunya.

Satu langkah kecil mimpi lama itu kini sedang aku telusuri, merasakan banyak sakit dan luka sudah tak lagi jadi penting untuk hidupku manakala tiba-tiba ada senyum kamu Nak yang berkelebat hadir di benak dan pikirku.

Mengutip lagu Jikustik Tak Ada Yang Abadi, termasuk dengan mimpi ini. Harga yang dibayar terlalu mahal, demi sebuah mimpi itu. Suatu saat kelak kamu memahami bahwa tak semata soal materi atau eksistensi tapi demi sebuah harapan untuk bertahan dengan kehidupan yang lebih baik. Dan nilainya jauh melampaui itu semua.

Mari menatap penuh harapan dan bergenggaman tangan, Nak. Hanya kamu seorang penyemangat yang tak pernah henti-henti menemani keseharianku. Meski tak setiap hari kita bisa bertemu, percayalah bahwa aku selalu ada untukmu, bagaimana pun kondisi yang terjadi.

Jakarta di suatu sore....







1 komentar: