Kamis, 18 Februari 2016

Secangkir Kopi dan Sekat pun Menghilang

  


Malam tak akan pernah habis ketika langkah kaki menginjakkan lantai demi lantai pelataran apartemen yang cukup kesohor di kawasan Kalibata. Para penghuni lalu lalang tanpa menatap ke depan. Ada yang asyik dengan gadget, ada yang sibuk dengan barang bawaan, dan ada yang melangkah lurus ke depan. Ya, kalau kamu singgah di sini hari terasa tak berganti.

Dari sekian banyak kunjungan ke banyak kedai kopi, baru kali ini aku merasakan nuansa yang berbeda. Angin mendesir, melandai dari ruang bangunan yang menjulang. Minum kopi di bawah angkuhnya bangunan apartemen megah dan tinggi, seolah memberi tanda bahwa ada jarak di antara penghuni dengan pengunjung yang datang.

Entah mengapa stigma yang terbangun pada penghuni apartemen begitu melekat bahwa mereka cenderung hanya mengurus diri mereka sendiri, tanpa bersapa-sapa dengan “tetangga” kamar pun dengan para tenan usaha di lantai paling bawah.

Tapi anggapan itu seketika runtuh, manakala saya bisa bertegur sapa dengan salah satu penghuni apartemen. Kamu mau tau apa yang membuat obrolan kami mengalir hangat dan tanpa beban? Yup lewat secangkir kopi di salah satu sudut tower apartemen.

Banyak yang bilang, kopi bisa membuat mencairkan suasana, menenangkan pikiran, sumber inspirasi bagi orang-orang. Ternyata tak hanya itu yang dirasakan tapi juga bisa meleburkan sekat yang selama ini begitu kuat mengakar dalam imaji. Lewat secangkir kopi batas antara penghuni dengan pengunjung apartemen seketika pudar.

Bayangkan di awal jarak itu begitu nyata, ketika kopi dingin bercampur susu di Kedai Teras -tempat kami bersua- berada dalam meja yang sama, maka obrolan kami mengalir diselingi regukan kopi sambil sesekali mengaduknya dengan es batu.

Di zaman modern ini ketika kita begitu apatis dengan fasilitas yang melenakan, ponsel yang canggih sampai-sampai ada idiom mengatakan jika ponsel menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Tanpa kita sadari jika kita berkumpul atau nongkrong istilah gaulnya, tangan kita tetap memegang ponsel, mata kita seringnya fokus pada layar.

Pun mengabaikan potongan-potongan cerita yang mengalir dari teman atau pasangan. Belum lagi ditambah model hunian seperti apartemen yang makin menjadikan kita sebagai manusia yang cuek –mesti tidak menimpa semua– namun gejalanya bisa kita rasakan.

Pernahkah kamu merasa ketika harapan sekadar melabuhkan rasa rindu lantaran lama tak bersua dengan kawan lama, tapi ia malah asyik dengan relasinya sendiri lewat kotak kecil bernama smartphone? Pernahkah kamu juga merasa bahwa alih-alih kamu ingin bercerita banyak wajah menatap wajah, lalu berujung lagi-lagi di layanan instant Messenger?

Mungkin jika dipikirkan tak aka nada ada habisnya. Jika semua itu tak lagi mampu kita bendung, maka secangkir kopi dengan rasa apa pun yang kamu suka, mau pakai susu atau original, mau ditambah gula atau suka dengan pahit khasnya.

Menyatulah dengan situasi itu, sebab bukan untuk dihindari melainkan belajar mengakrabi dengan secangkir kopi yang mampu membuat segalanya lebih dekat pun tak bersekat lagi. Pandanglah hangat mata lawan bicaramu, tertawalah dengan alami dan sesekali simpanlah ponsel-mu, untuk sebuah waktu yang bisa jadi tak mungkin terulang lagi. Because, we never know. 

Mari ngopi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar