Salah satu ‘perang dingin’ yang tak kunjung usai antara sesama ibu-ibu adalah masalah SAHM vs WM. Stay at Home Mom vs Working Mom. Please, don’t say ‘Full time Mom’, karena tidak ada yang namanya ‘Part-time Mom‘.
“Alhamdulillah ya, sesuatu banget. Gajian lagi hari ini. Bisa beli ini-itu tanpa nyodorin tangan ke suami. Nikmatnya menjadi wanita mandiri.”
Kubu sebelah siap membalas, “Alhamdulillah ya, badan encok karena sibuk BBM an. Kerja gratisnya tidak sia-sia, lho. Insya Allah surga balasannya. Super sesuatu.” BBM = beberes, benah-benah, memasak.
Dan akhir-akhir ini, kancah pertarungan diramaikan oleh pendatang baru: Working at Home Mom. Biasanya di Jumat sore, saat macet menaklukkkan ibukota apalagi jika dibombardir dengan hujan, kubu yang ini siap berkicau:
“Aduh, hujan nih. Berkah namanya. Alhamdulillah ya, di rumah-rumah saja dari tadi. Bebas dari lebatnya hujan. Tapi kantong tetap basah, gak ikut-ikutan kering. Main sama anak sekaligus dapat penghasilan sendiri. Sesuatu banget.”
Yang satu mengatasnamakan kemandirian. Ada yang merasa berhak atas surga. Dan ada yang merasa sebagai pemenang sejati, “Hey I get both, mandiri plus kebersamaan bersama keluarga.”
***
Parenting style itu unik tiap keluarga. Saya tidak pernah meragukan itu. Saya tidak percaya jika lebih banyak SAHM yang berhasil mengantar anak-anaknya ke gerbang kesuksesan. Jika para WM harus mengorbankan keluarganya demi karier. Contoh nyatanya banyak di sekitar saya. Yang saya lihat langsung.
Ibu saya bukan SAHM. Mama panggilannya. Saya ingat betul saat pulang sekolah dulu, bukan Mama yang menyiapkan makanan di meja. Bukan wajahnya yang pertama kali muncul saat saya membuka mata setelah waktu tidur siang usai. Yang meladeni saya berganti-ganti.
Tapi saya tidak pernah lupa yang mana Mama saya. Apalagi berniat memanggil yang berganti-ganti itu dengan sebutan ‘Mama’. Tidak pernah. Kalau waktu bisa berjalan mundur pun, saya tidak akan meminta agar Mama stay at home for us. Cukup seperti dulu. She’s always be the best Mom for us.
Salah satu kerabat yang saya kenal juga berprofesi sebagai WM. Dari awal perkawinan hingga detik ini. Ketiga anak-anaknya tumbuh diatas rata-rata. Yang bungsu kini tengah menempuh pendidikan kedokteran di universitas negeri ternama di tanah air. Kakak-kakaknya tidak kalah hebatnya secara akademis maupun non akademis.
Dan ada beberapa kerabat yang memilih jalur SAHM. Tapi entahlah, anak-anaknya malah belum mampu berdiri secara tegak bahkan ketika mereka telah memasuki gerbang pernikahan.
Tapi ketika saya memutuskan mengakhiri status sebagai Working-Mom 3 tahun yang lalu bukan karena figur mana pun. It’s my own choice. Buat saya pribadi, itu adalah pilihan terbaik yang paling cocok untuk saya. Belum tentu buat orang lain.
Tentu ada adjustment yang harus dilakukan. Tidak 100% kerelaan langsung berlabuh dalam hati.
***
“Ah, dia tidak mengurus anak. Seharian saja di kantor. Anak dikasih ke pembantu.” Cibiran buat Ibu pekerja kantoran.
Tapi, sepanjang hari di kantor, statusnya sebagai Ibu tidak dilepas begitu saja. Subuh-subuh sudah harus bangun mempersiapkan makanan si kecil. Pagi – siang – sore menelepon ke rumah mengecek si kecil di sela-sela kesibukan kantor.
Jangan mencibirnya. Belajar saja akan ketangguhannya membagi waktu. Kekuatan hati yang tanpa batas untuk senantiasa membagi pikiran antara pekerjaan di kantor vs pekerjaan di rumah.
“Ih, kok mau yaaaa, sekolah tinggi-tinggi kok lha ya BBM-an doang di rumah.” Definisi BBM nya diatas, masih ingat kan?
Sepanjang hari di rumah bersama anak tidak hanya menggunakan kekuatan fisik saja, batin juga mesti kuat ya. Jangan bertanya-tanya, ambil saja hikmah kesabaran seluas samudera yang dimiliki mereka, yang memilih jalan ini.
“Ih, paling keren gue dong. Bisa sepanjang hari di rumah. Uang mengalir terus. Dekat sama anak sekaligus mandiri secara keuangan.” Mau, mau, mau!
Pada umumnya yang model seperti ini ikut bisnis MLM. Wah, berkarier di dunia MLM ini beda lagi lho tantangannya. Atau untuk yang berbisnis lain di rumah, pasti repot membagi pikiran sekaligus tenaga jadi dua di saat yang sama. Kita bisa melihat dan mencontoh persistensi mereka yang tak ada habis-habisnya.
Jadi, intinya bukan di seberapa banyak waktu yang diluangkan untuk keluarga. Apa artinya bila pilihan itu tak bermakna dan malah menjadi bumerang?
Relakah meletakkan karier demi anak tapi sepanjang hari meratapi pilihan itu?
Apa sanggup setiap hari menghabiskan waktu di belakang meja, tapi tak kunjung rela bila membayangkan anak harus berada di tangan orang lain?
“Sebesar apa pun keinginan untuk membahagiakan anak dan keluarga, jangan pernah mengabaikan kebahagiaan diri sendiri.”
Apa yang coba ditawarkan kepada mereka, jika kita sendiri telah merasa kebahagiaan kita telah tercabut dari akarnya? Ingat petunjuk keselamatan dalam pesawat untuk pertolongan pertama saat sirine tanda bahaya berbunyi, “Selamatkan diri Anda terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang lain.”
***
“Surga dibawah telapak kaki Ibu.” Bukan di bawah telapak kaki Ibu Rumah Tangga, Ibu Pekerja Kantoran, atau Ibu Pengusaha. Tapi di telapak kaki (semua) Ibu.
Semua pasti ada pengorbanannya. As every Mom has her own battle. Win yours without being ‘nyinyir’ to others.
Sepakat?
(copas dari milis asiforbaby)
dulu wkt sy masih punya satu anak termasuk rajin juga ikutan milis2.. Cuma gak sukanya ya gitu ribut2 kyk yg di ceritain di postingan ini... Gak taunya sp skrg masih aja ya.. Ck.. ck... ck...
BalasHapusHehee...baca juga di urban mama :)
BalasHapusNamanya hidup itu pilihan, dan kita yang memilih kan mak? Buat saya Ibu tetap ibu (dengan pilihan dan pertimbangan masing masing pribadi dan keluarga) Hidup ibu! :)
Kunjungan perdana dan mengharap kunjungan balik :)
Mba Ke2nai: hmm gak cuma di milis mba sampe sekarang di forum apapun pasti ramai soal debatable seperti ini :) anyway salam kenal ya mba
BalasHapusMba Aya: yupieee tulisan ini semoga bisa meminimalisir dikotomi pelabelan ibu yaa...btw makasih ya buat kunjungan pertamanya, dah eyke kunjungi balik daan sekalian izin pasang link blogmu ya di list blog ku :)