Jumat, 27 Februari 2009

Delfina: Mutiara di Kolong Jembatan

Siapa yang tidak tahu jika Kota Jakarta memiliki banyak kolong jembatan, di salah satu kawasan tepatnya di Papanggo Gang 24 Tanjung Priuk, terdapat sosok setia yang telah 10 tahun mengajar anak-anak. Berteman dengan aroma tidak sedap dan sampah, Kak Delfi biasa dia dipanggil oleh murid-muridnya tetap bertahan mengajar. Padahal bukan rahasia lagi jika kawasan itu riskan kriminalitas.

Delfi mengaku pernah dianggap gila oleh teman-temannya ketika memutuskan keluar dari pekerjaan lama dan mengajar di kolong jembatan. Sebelumnya tidak pernah terlintas dibenak perempuan asli Flores ini akan menjadi guru, apalagi guru tanpa kelas. Ya, Delfi mengajar di tempat seadanya di ruas Gang Papanggo dengan media belajar yang juga sangat terbatas. Namun, keluhan itu tak lantas membuat semangatnya luruh, karena setiap melihat senyuman anak-anak terpetik harapan jika suatu saat mereka akan jadi orang yang pintar. Pengaruh ajaran Santo Vincesius juga terasa di benak perempuan lajang ini. Menurutnya ajaran Santo menjadikan kaum miskin sebagai majikan dan bagian dari hidup.

Perlu diketahui, Delfi bukanlah tamatan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), melainkan lulusan diploma tiga Bina Sarana Informatika (BSI) Jakarta Pusat. Tapi kini, sepuluh tahun berlalu hatinya telah tertambat pada bidang pendidikan. Padahal semua terjadi begitu tiba-tiba. Semua berawal dari niatnya membantu Susteran Putri Kasih Pondok Ozanam, kebetulan waktu itu mereka mempunyai program pendidikan.
Ketika disinggung perihal keamanan, Delfi pun tersenyum seraya berkata “Kalau mau cari tempat yang aman, saya pikir tidak ada tempat yang benar-benar aman, semua kembali ke niat dalam hati,”. Jawaban Delfi lancar dan tanpa rasa was-was, seolah tak khawatir dengan kejadian buruk yang menimpanya saat mengajar. “Saya percaya pada warga di sini karena menitipkan anak-anak mereka untuk saya ajar,” lanjutnya.

Delfi memang sosok bersahaja yang mencoba melakukaan aktivitas luar biasa, Apa yang dilakukan perempuan berusia 28 tahun ini bahkan tak terlintas dalam benak kita. Cita-cita Delfi pun sederhana, dia hanya ingin anak-anak yang diajarnya bisa melanjutkan ke sekolah formal. Kebanyakan dari mereka memang tidak sekolah lantaran harus membantu orangtua bekerja menjadi pemulung. Meski mereka bekerja, mereka tetap harus belajar karena pada akhirnya mereka akan membantu orangtua dengan ilmu yang telah didapat.

Tidak Takut Resiko
Tak urung dirinya sempat mengeluh karena awalnya tidak mendapat restu dari orangtuanya. Bukan lantaran tidak digaji laiknya guru-guru di sekolah formal, tetapi karena begitu sayang pada Delfi dan khawatir jika jalan yang ditempuh Delfi sangat beresiko. Kawasan tempat Delfi mengajar rentan dengan gangguan preman, ajang permainan judi dan minuman keras, belum lagi prostitusi yang merebak.
Bukan Delfi kalau dia menyerah begitu saja.

Seiring berjalannya waktu Delfi tak patah arang untuk meyakinkan orangtuanya bahwa apa yang saat ini ditempuh adalah jalan hidupnya. “Sekarang orangtua sudah tidak khawatir berlebihan seperti dulu,” ucapnya mantap. Benar, orangtua Delfi tidak perlu khawatir lagi sebab sekarang putri mereka telah membuktikan bahwa yang dilakukannya berbuah manfaat bagi anak-anak. Hal itu terbukti dengan perhatian dari pemerintah setempat yang berkenan mengunjungi sekolah alternatif itu. Belum lagi jumlah muridnya yang kian hari kian bertambah.

Tantangan tidak hanya berhenti sampai di situ, ada lagi yang jauh lebih berat. Kebanyakan orangtua anak-anak yang diajar oleh Delfi tidak percaya jika kegiatan belajar mengajar mereka murni belajar. Mereka khawatir akan diselipi oleh anjuran yang menyerempet pada keyakinan. “Sampai-sampai orangtua ikut mengawasi dari awal belajar sampai selesai. Dari situ terbukti bahwa tidak ada niat untuk berceramah mengenai keyakinan saya,” ungkap penikmat musik ini lirih. Delfi menegaskan bahwa apa yang dijalaninya murni untuk memberikan pengetahuan. Tak heran jika murid-murid Delfi berasal dari lintas agama dan suku.

Adakah Pendidikan Gratis?
Diakui Delfi, selama proses belajar mengajar yang sesekali hanya dibantu oleh satu orang suster dari Pondok Ozanam itu kerap menuai persoalan dana.Praktis biaya operasional selama ini hanya berasal dari donatur. Sekolah di kolong jembatan itu memang gratis, sebab tidak ada yang mampu membayar, jangankan untuk biaya pendidikan kebutuhan sehari-hari saja tidak mencukupi. Delfi tak bisa begitu saja mengandalkan bantuan dari pemerintah yang hingga kini belum pernah diberikan.

Adakah Delfi menyerah? Ternyata tidak dan masih bertahan hingga kini. Salah satu hal yang membuatnya semakin bersemangat ialah bahwa Delfi mengajar bukan sekadar simbol, tetapi dia benar-benar ingin mengajar dengan hati. Jika guru-guru yang mengajar di sekolah formal mayoritas mengajar sesuai dengan gaji atau jumlah jam sehingga perhatian kepada murid berkurang. Padahal, kata Delfi, anak-anak juga butuh dipahami apa yang mereka rasakan.

Anak-anak yang menjadi murid Delfi berusia mulai 3-12 tahun. Kegiatan belajar mengajar berlangsung di dua kawasan yakni gang 24 setiap hari Senin-Rabu pukul 10.00-11.30 dan gang 18 setiap Jum’at-Sabtu pukul 15.00-16.30. “Kami belajar sesuai dengan kurikulum nasional dan buku-buku sekolah yang diberikan oleh donatur, bahkan di gang 24 kami belajar di lesehan karena tidak ada meja dan kursi. Makanya saya lebih sering menyelipkan permainan agar mereka makin bersemangat,” ucapnya antusias.

Ketika ditanya mau sampai kapan mengajar, Delfi belum bisa menjawabnya. “Yang jelas jika saya masih dibutuhkan,” ungkapnya. Berpijak pada perjuangan yang akan terus dilakukan Delfi tersebut, sangat pantas jika Delfi mendapat julukan Mutiara. Meski berada di kolong jembatan, dirinya tetap bersinar indah dan cemerlang. Ada yang tidak setuju?(*)

Senin, 23 Februari 2009

Titah Mangkunegaran di Gunung Gambar

Menginjak kawasan Ngawen Gunungkidul merupakan kali pertama buat saya dan teman-teman satu tim. Rasa penasaran yang kuat mampu menyuntikan semangat kami untuk mencapai puncak Gunung Gambar dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan air laut. Meski diguyur hujan sepanjang perjalanan namun ketika sampai kaki gunung cuaca mendadak mendung dan menyisakan udara dingin yang tak tertahankan.

Perjalanan kami terhenti saat hendak melintas tanjakan tajam, bukan apa-apa kami tak ingin mengambil resiko jika tiba-tiba kendaraan yang kami naiki terjungkal ke bawah alias jurang. “Masa sudah sampai sini balik lagi, ayo kita jalan saja, view-nya terlalu indah untuk dilewati,” ujar kawanku yang memang hobi jeprat-jepret itu.

Sementara aku dan kawanku yang lain sempat ragu, karena kita belum makan siang pdahal waktu itu sudah menunjukkan pukul 13.00 lebih. Kira-kira kuat atau tidak kita menanjak, sebab memang rugi banget kalau tidak melihat ada apa di atas sana.
Tanpa bertele-tele kami pun nekat mengikuti kawan kami yang sudah sejak tadi berjalan lebih dulu. “Wah kaget nih, lama ngga hiking mana tidak pakai pemanasan dulu,” ucapku pada kawanku yang sama-sama kelelahan. Di tengah keputusasaan, kami terkejut melihat mobil yang ditinggal di bawah bersama driver melaju kencang menghampiri kami. Fuih akhirnya bisa juga sampai atas, meski masih berjalan kaki lagi menuju gardu pandang. Angin yang berhembus tanpa ampun di atas membuat kami kedinginan apalagi jaket saya tertinggal di mobil.

Rasa lelah kami terbayar begitu sampai ke puncak gunung gambar. Sayang juga tidak bisa dinaiki karena batu-batunya licin. Tidak jauh dari puncak juga terdapat tempat pertapaan Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Samber Byowo selama berperang melawan belanda. Menurut sumber, syahdan di tempat itu beliau duduk di atas batu dengan nama Watu Kong yang hingga kini masih Nampak di Gunung Gambar. Batu itu menjelma sebagai saksi beliau dalam menyususn strategi menyerang Belanda. Tak lama kemudian beliau menjadi penguasa Mangunegaran Surakarta dengan gelar KGPPA Mangkunegara I.

Dari puncak Gunung gambar yang merupakan obyek wisata spiritual yang berada di Desa Jurangjero, Kecamatan Ngawen ini kita dapat menikmati keindahan Rawa Jombor di Klaten dan genangan Waduk Gajah Mungkur secara samar di Wonogiri. Tapi kami kurang beruntung karena cuaca saat itu mnedung jadi kami hanya menikmati view hijau yang langka di Gunungkidul. Konon banyak warga yang bertapa di lokasi pertapaan Raden Mas Said, terbukti dengan adanya tas punggung, botol air mineral dan sandal jepit yang ditinggal di gardu pandang.

Potensi Gunung Gambar terus dikembangkan dengan berbagai fasilitas pendukung untuk memudahkan para pengunjung dalam menikmati pemandangan di sekitarnya. Berjarak 39 Km dari kota Wonosari atau 70 Km dari kota Yogyakarta, obyek wisata ini bisa dicapai dengan segala kendaraan. Dengan kelengkapan toilet, jalan setapak dan gardu pandang serta jalan setapak menuju ke bekas pertapaan Pangeran Samber Nyawa, Obyek wisata ini bertambah nyaman untuk dikunjungi.

Kesenian khas yang menarik di daerah ini adalah kesenian “Rinding Gumbeng” yaitu kesenian dengan menggunakan alat musik dari bambu kecil yang sederhana, namun apabila dimainkan akan muncul suara musik yang bagus, enak didengar dan sangat khas. (*)

Jumat, 20 Februari 2009

Pilih Sendiri Sekolahmu!

Seperti yang kita ketahui pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan juga meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi lima, yaitu:
Pertama Jalur pendidikan formal yang terdiri dari Taman Kanak-kanak dan Raudlatul Athfal (RA) yang dapat diikuti anak usia lima tahun keatas, Kedua, jalur pendidikan non formal terdiri dari Tempat Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), Pendidikan Anak Usia Dini (PADU), Ketiga, jalur pendidikan informal merupakan pendidikan yang diselenggraakan di keluarga dan lingkungan. Keempat pendidikan dasar selama 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak yaitu di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Kelima pendidikan menengah yang merupakan lanjutan pendidikan dasar terdiri dari pendidikan menengah umum dan kejuruan.
Melalui enam jenjang pendidikan tersebut, maka muncullah sebuah ‘jalan baru’ bagi masyarakat, yakni pendidikan alternatif. Bentuknya bisa beragam tergantung dari kebutuhan masyarakat. Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya bersifat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua atau keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.

Wacana pendidikan alternatif mulai dikenalkan oleh paedagogik Jerman yang bernama Forster sekitar Tahun 1869-1966. Bentuk pendidikan alternatif tertua yang dikelola masyarakat untuk masyarakat adalah Pesantren. Diperkirakan dimulai pada abad 15, kali pertama dikembangkan oleh Raden Rahmad alias Sunan Ampel. Kemudian muncul pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.

Selain pesantren, Taman Siswa didirikan pada tahun 1922. Selain Taman Siswa, Mohammad Syafei membuka sekolah di Kayutaman. Sekolah dengan semboyan, “Carilah sendiri dan kerjakanlah sendiri”. Siswa diberi keterampilan untuk membuat
sendiri meja dan kursi yang digunakan bagi mereka belajar. Namun Belanda telah membumihanguskan sekolah tersebut.

Di era sekarang, pendidikan alternatif muncul seiring perkembangan zaman. Seperti misalnya pendidikan alternatif di pedalaman Jambi asuhan Butet Manurung, pendidikan anak jalanan di kolong jembatan sampai pendidikan di rumah atau yang sering kita sebut dengan homeschooling. Pilihan masyarakat untuk merambah ke pendidikan alternatif didasari oleh banyak hal diantaranya ialah faktor ekonomi, psikologi anak dan juga ketidakpercayaan atau apatisme masyarakat pada pendidikan formal yang disediakan pemerintah.

Yang jelas, munculnya pendidikan alternatif di daerah-daerah awalnya ingin memberikan pilihan pada masyarakat bahwa ada banyak jalan lain untuk menimba ilmu.(*)

Minggu, 15 Februari 2009

Siasat Saat Krisis

Pada ngerasa gak, akhir-akhir ini biaya hidup makin mahal, bahkan kadang-kadang gaji satu bulan tak cukup untuk menutup kebutuhan. Tidak hanya saya yang merasakan, teman-teman kost yang masih dapat kiriman juga ikut merasakan uang kiriman selalu saja minus. Duh bagaimana ini padahal bensin sudah turun tapi kok tidak diimbangi dengan harga kebutuhan pokok yang makin melambung ya. Mulai dari gas, galon air mineral, kost, sabun, shampoo, pasta gigi, mie instant, telur, tepung, beras, minyak goreng, sayuran, cabai dan seabrek kebutuhan primer lainnya.

Semoga trik di bawah ini bisa menambal kantong yang makin jebol.

1. Kurangi membeli barang-barang yang boros
Kalau biasanya kita membeli barang-barang kebutuhan dengan merek yang terkenal, sekarang coba deh turunin standar harga. Misalnya yang biasanya pakai sabun cair satu bulan bisa beli dua kali, beralih ke sabun batangan yang relatif lebih hemat. Terus yang biasanya nyetrika pakai pelicin pakaian, sekarang coba pakai pewangi pakaian yang biasanya dipakai untuk bilasan akhir mencuci, dijamin lebih tahan lama wanginya dan ketika mencuci tak perlu pakai pewangi lagi.Minimalisir beli tissue, beralih-lah ke sapu tangan yah itung-itung mengurangi sampah gitu.

2. Masak sendiri aja
Well, ini emang agak ribet buat kamu-kamu yang terjebak dari rutinitas. Tapi ga ada salahnya dicoba bukan? Sekadar berbagi pengalaman. Bayangin deh kita makan di luar untuk tiga kali makan, mulai sarapan pagi, makan siang dan makan malam bisa menghabiskan rata-rata kalau sekali makan plus minum Rp. 8.000,- berarti total dalam sehari Rp. 24.000,-.
Sementara kalau kita masak taruhlah beras 1 kilo Rp. 5.000,- bisa untuk tiga hari jadi alokasikan sehari Rp 2.000,- minyak goreng Rp. 2000,- bisa dipakai tiga kali jadi anggaplah kita memakai Rp. 1000 dalam sehari, bumbu meliputi cabe dan kawan-kawannya Rp. 2000,- bisa dipakai tiga kali jadi kita ambil Rp. 1000,- hari. Terus untuk bahannya misalnya kita mau masak kangkung tiga ikat Rp. 1000,- lauknya ayam goreng Rp. 5000,- sudah dapat lima potong. Nah dijumlah deh, totalnya kita makan dalam satu hari kalau masak hanya menghabiskan Rp.10.000. Terus untuk elpijinya yang tiga kilo sekali isi ulang kalau dipakai sendiri bisa satu bulan lebih Rp. 14.000,-.

3. Little stuff means a lot
Seringkali kita tidak merasa keluar uang banyak untuk sekadar beli rokok, beli cemilan, gorengan, bubur kacang ijo, mie rebus atau sekedar ngopi dan ngeteh di luar. Wajar jika kita lupa karena jumlahnya kecil dan sudah menjadi kebiasaan. Bahayanya adalah karena menjadi kebiasaan sehari-hari maka kita lupa bahwa jumlah yang kecil tadi jika kita kalkulasi dalam setahun jumlahnya jadi besar juga. Padahal kalau buat sendiri jauh lebih irit. Misalnya beli teh di warung rata-rata sudah Rp 1000 kalau buat sendiri, teh celup yang isi 10 cuma Rp 1000 bisa diminum 10 kali dan gulanya Rp. 3000. Lumayan kan setengahnya. Tapi kalau niatnya nongkrong lain lagi ceritanya.

4. Manfaatkan Barang Lama
Seringkali kita keburu membeli barang-barang baru tanpa terlebih dulu, memikirkan penggunaannya. Kenapa ga kita coba bongkar-bongkar lemari, kali aja kita menemukan pakaian jadul atau punya ortu kita yang dah terpakai. Terus kita mix and match dengan pakaian kita sekarang, apsti ada deh yang cocok. Begitu pula tas dan sepatu jika masih bagus dan kita nyaman memakainya kenapa harus beli yang baru.

5. ATM bukan uang lebih
ATM seringkali membuat kita lebih kaya daripada yang sebenarnya. Limit ATM membuat kita serasa mempunyai uang tunai lebih. Padahal limit ATM masih dipotong bunga. Kalau ambil ATM jangan langsung semua, bisa habis ludes nantinya. Simpanlah ATM untuk keadaan darurat.

6. Miliki dana cadangan
Kadang-kadang walaupun orang sudah mempunyai anggaran belanja, tetap saja kebobolan. Hal ini biasanya karena ada pengeluaran tidak rutin atau tak terduga yang tidak terdapat dalam anggaran. Misalnya ada saudara pinjam uang, memberikan hadiah ulang tahun, sumbangan pernikahan, dan lain-lain. Makanya kita mesti pikirkan juga tuh dana tidak terduga dan unpredictable.

7. Beli barang yang prioritas
Bedakan antara keinginan dan kebutuhan. Cobalah membeli barang yang memang dibutuhkan lebih dulu. Barulah setelah itu - kalau memang masih diperlukan - membeli barang yang memang diinginkan. Ini karena - terlepas dari apakah membelinya di muka atau dibelakang, kita toh masih harus tetap membeli barang-barang yang dibutuhkan. Jadi, kenapa tidak memprioritaskan uang ke barang-barang yang memang dibutuhkan? Kalau kita mendahulukan membeli barang yang diinginkan, dan ketika tiba gilirannya harus membeli barang yang dibutuhkan, dikhawatirkan uang kita sudah habis.

8. Jangan membeli barang hanya karena iklan.
Cobalah untuk tidak membeli barang hanya karena terbujuk iklan, tapi karena kita memang mencari barang tersebut dan memang membutuhkannya. Iklan dibuat agar kita membeli, bukan untuk sekadar memberi kita informasi.Memilih tempat belanja yang tepat boleh jadi adalah langkah pertama untuk hemat berbelanja. Tapi bukan hanya faktor tempat yang bisa mempengaruhi hemat atau tidaknya shopping kita. Terkadang pemilihan waktu yang tepat untuk belanja juga bisa menjadi faktor yang menentukan.

9. Belanja di tempat Murah
Kalau saya ditanya dimanakah tempat yang paling hemat untuk belanja, saya tentunya akan menjawab, belanja di pabriknya langsung. Tapi sayangnya, hampir tidak mungkin belanja langsung ke pabriknya dan mendapatkan “harga pabrik” karena bagi pabrik hal itu tentunya tidak efisien untuk melayani setiap konsumennya di pabrik.
Cari tempat yang sedekat mungkin dengan pabriknya atau produsennya. Biasanya, semakin dekat dengan produsen akan semakin murah. Dekat disini tentunya bukan berarti jaraknya yang dekat, melainkan jalur distribusinya yang dekat. Dalam arti harga di agen atau toko grosir pasti lebih murah daripada harga di toko, dan harga di toko biasanya juga lebih murah dari harga di pengecer.
Satu lagi tempat belanja yang bisa lebih murah dari yang lainnya adalah kawasan belanja yang menjadi pusat penjualan suatu produk tertentu. Untuk kalian yang tinggal di Jakarta bisa ke pasar Tanah Abang untuk produk garment dan tekstil, dan kawasan Glodok untuk barang-barang elektronik. Sedangkan untuk mendapatkan handphone dengan harga miring, kita bisa datang ke Roxi sebagai pusat penjualan handphone.
Sementara di sekitar Yogyakarta mencari pakaian atau tekstil bisa meluncur ke pasar Beteng Solo, dan Pasar Beringharjo Yogyakarta. Kebutuhan pokok bisa didapat di grosir seperti makro atau indogrosir kalau mau eceran sih di pasar atau mini market yang menawarkan harga murah. Pengalaman saya kalau di Indomaret atau Alfamart jatuhnya lebih mahal. Nah bagi yang pengen hunting barang elektronik bisa ke Jogjatronik, Ramai atawa Jalan Gejayan dan Moses. Jangan khawatir kalau mau harga lebih jatuh di Jogja sering kok ngadain pameran. Mulai pameran buku, komputer bahkan kerajinan.
Pusat penjualan seperti diatas bisa menawarkan harga yang lebih murah karena bisa dikatakan sebagian besar pedagang berkumpul disana. Karena banyak pedagang, mau tidak mau mereka akan menetapkan harga semurah mungkin agar bisa bersaing dengan pedagang lainnya.
Untuk menentukan waktu yang tepat untuk belanja barang-barang tertentu, terkadang kita harus tahu musimnya. Contoh sederhana adalah ketika ingin membeli buah-buahan, produk ini harganya naik atau turun seiring dengan musimnya. Kalau kita ingin membeli buah-buahan, pilihlah buah-buah yang sedang musim. Biasanya pusat perbelanjaan atau toko menawarkan harga khusus untuk buah yang sedang musimnya.
Menurut pengalaman saya, ada satu kebiasaan dari pedagang yang unik dan bisa kita manfaatkan untuk mendapatkan barang bagus dengan harga murah. Yaitu kebiasaan untuk memberi penglaris dan penghabis untuk barang-barang yang bisa ditawar. Biasanya pedagang memberikan diskon khusus untuk konsumen mereka di pagi hari sebagai penglaris. Dan mereka juga terkadang memberikan diskon khusus untuk yang pembeli terakhir yang menghabiskan barang dagangannya di hari itu.

10. Rekreasi yang murah tapi bermanfaat
Wah, kalau yang ini sih bukan prioritas tapi kebutuhan tertier, yang menurut buku IPS jaman SD dulu tidak dilakukan tidak menimbulkan dampak yang signifikan. Tetapi ga bisa dimungkiri, rekreasi sesekali perlu diagendakan agar pikiran kita bisa sejenak lebih fresh setelah bergelut dengan aktivitas yang monoton.
Wisata yang murah ke tempat-tempat bersejarah atau alam. Kalau di Jogja terdapat banyak banget tempat wisata yang menambah pengetahuan kita. Misalnya kalau kita main ke Kotagede, kita sudah bisa jalan-jalan ke peninggalan Panembahan Senopati, Ki Ageng Pamanahan dan lainnya sekaligus mencicip kue kipo khas Kotegede. Belum lagi museum dengan tarif murah juga bisa kunjungi mulai dari Keraton, Sonobudo, Wayang, Perjuangan, Benteng Vredeburg, Pangsar Sudirman, Ki Hajar Dewantara dan masih banyak lainnya.
Kalau pengen menikmati alam pegunungan bisa ke Kaliurang, Kaliadem, Kalikuning, Bukit Patuk, Parangtritis, Baron, Samas, Glagah, Goa selarong, Goa Cerme dan masih banyak lagi. Atau pengen mancing bareng teman-teman juga bisa ke Purwomartani. Ya, kalau emang pengen berwisata ya jangan ke Mall, yang ada malah bikin kantong kita makin tipis atau paling banter ngiler mata gitu.

So, Selamat Mencoba!

Rabu, 11 Februari 2009

Berburu Jajanan Pasar

Berkunjung ke pasar, tak lengkap rasanya jika belum membawa oleh-oleh berupa kue-kue basah yang biasa disebut jajanan pasar. Selain enak dimakan dan untuk kebutuhan berdagang -karena terbuat dari bahan alami- sebagian kue-kue basah itu hingga kini masih sering digunakan untuk merayakan ritual upacara tradisional baik oleh komunitas spriritual maupun Keraton Yogyakarta.

Cobalah kunjungi Pasar Kranggan yang terletak di Poncowinatan, di sana banyak terdapat kue-kue basah tradisional dan tentunya membuat kita yang belum pernah makan jadi penasaran ingin mencoba. Tapi jangan sampai kesiangan sebab biasanya jajanan pasar cepat habis.Para pedagang biasanya berjualan pukul 05.30 sampai jam 11.00.

Pertama, kita mencicipi kue lopis yang terbuat dari tepung ketan kemudian disiram sirup gula jawa dan parutan kelapa yang disuguhkan dalam lipatan pincuk (daun pisang-red).Masih dalam satu sajian, biasanya lopis ditemani oleh gatot dan thiwul yang terbuat dari ketela, cenil dari tepung kanji warna-warni, ketela yang ditumbuk, semuanya khas Gunungkidul. Salah satu pedagang di Pasar Kranggan, Ibu Warnoutomo yang sudah berdagang selama 27 tahun (cukup lama bukan) mengatakan dagangannya akan laris jika tidak hujan. Meski usia Ibu Warnoutomo tidak hijau lagi, dirinya tetap membuat sendiri kue-kue tersebut.

Masih ada lagi jenis kue basah sangat dikenal yaitu wajik, terbuat dari ketan kukus yang dicampur dengan gula. Mulanya, gula yang digunakan adalah gula merah sehingga menghasilkan warna coklat. Namun, muncul variasi lain yang menggunakan gula pasir dan daun pandan sehingga tercipta wajik berwarna hijau. Hingga kini, wajik masih sering kita saksikan pada upacara Tumplak Wajik yang berlangsung menjelang perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW. Adapun salah satu pedagang yang berjualan wajik, jadah manten, gethuk, dan jenang dodol selama 32 tahun di Pasar Kranggan ialah Ibu Mulyosudarmo.

Kalau telaten mengelilingi pasar, kita juga akan menemui kue basah yang namanya cukup unik, yaitu jadah manten jadah pengantin-red)). Kue itu terbuat dari beras ketan yang dikepal dan diisi dengan daging ayam atau abon sapi. Bagian luarnya digungkus dengan campuran tepung terigu dan telur, kemudian diapit dengan dua bilah bambu tipis. Ada lagi kue ku terbuat dari tepung ketan, apem dari tepung beras,gula merah dan telur yang kemudian diberi ragi, mata kebo dari tepung beras dan masih banyak lagi.

Seluruh kue-kue basah jajanan pasar itu bisa dinikmati tanpa merogoh kocek yang mahal. Satu kue basah biasanya dijual dengan harga sekitar Rp 600,00 hingga Rp 2.000,00. Untuk getuk, lopis dan cenil, diasanya dijual per bungkus dengan harga berkisar Rp 1.500,00 hingga Rp 3.000,00. Beberapa pasar yang banyak menyuguhkan jajanan lainnya adalah Pasar Beringharjo, Pasar Kotagede, Pasar Giwangan dan Pasar Demangan.

Jumat, 06 Februari 2009

Tapak Diponegoro di Goa Sriti

Saat acara EKSPRESI di Kalibawang akhir Desember lalu, saya dan kawan-kawan secara tidak sengaja menjumpai petunjuk menuju Goa Sriti. Lantas tanpa banyak debat, dengan modal nekat kami pun melanjutkan perjalanan menggunakan sepeda motor. Meski jalan licin dan kami pun sampai menuntun motor lantaran terlalu curam, hal itu tak melunturkan semangat kami yang penasaran ingin sampai ke atas.

Bukit Menoreh terkenal dengan daerah perbukitan yang membentang di wilayah utara Kabupaten Kulon Progo, sebagai batas antara kabupaten tersebut dengan Kabupaten Purworejo di sebelah barat dan Kabupaten Magelang di sebelah utara. Tidak jauh dari perbukitan Menoreh terdapat Goa Sriti tepatnya di Dukuh, Purwoharjo, Samigaluh.

Setelah waktu berlalu sekitar 20 menit, kami pun sampai di ketinggian 200 meter dan memasuki mulut Goa dengan lebar 50 meter. Jujur, saya sempat bergidik karena tak ada orang lain, kecuali kami. Suara tetesan air dari stalaktit dan staglamit yang bersahut-sahutan seakan memecah kebisuan kami mengagumi Goa Sriti. Sayangnya kami tidak prepare membawa senter sebelumnya, jadi tak bisa masuk sampai jauh. Menurut cerita kawan-kawan, Goa Sriti merupakan pertahanan akhir Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda sebelum ditangkap.

Saya sempat heran, potensi Goa Sriti di daerah yang cukup subur dan terletak di perkebunan penduduk serta dekat dengan Sungai Kalibawang ternyata belum digarap dengan maksimal. Terbukti Goa Sriti belum menjadi kawasan wisata resmi, melainkan masih sebatas tempat berlatih panjat tebing bagi anak-anak Mapala.

Bukit Menoreh memang basis pertahanan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya dalam berperang melawan Belanda. Bahkan salah satu putera beliau bernama Bagus Singlon atau yang juga terkenal dengan Raden Mas Sodewo (putera Pangeran Diponegoro dengan R.Ay. Mangkorowati) ikut juga melawan Belanda di wilayah ini. Raden Mas Sodewo atau Ki Sodewo bertempur di wilayah Kulon Progo mulai dari pesisir selatan sampai ke Bagelen dan Samigaluh.

Diponegoro dan Asal Usulnya
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Catatan Perjuangan Melawan Belanda
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. (*)